RT - readtimes.id

Membangun Aktivisme Inklusif dengan Perspektif Interseksionalitas

Sebagai seorang aktivis dan akademisi yang mengajar di Universitas Hasanuddin serta mengepalai Pusat Disabilitas Unhas, penulis ingin berbagi sedikit pengalaman personal dalam aktivisme sosial dengan berbagai kelompok dengan identitas politik yang rentan. Pergerakan dan aktivisme penulis didasari oleh beragam landasan filosofis, teoritis, serta serangkaian pengalaman menarik yang berkelindan. Tulisan perdana untuk rubrik Program Suara Inklusi, kerjasama Pusat Disabilitas Unhas dan Readtimes.id inilah yang akan menjadi fokus penulis untuk membahas pentingnya perspektif interseksionalitas dalam aktivisme sosial dan kampus.

Secara filosofis, aktivisme penulis dilandasi oleh pemikiran yang sangat dipengaruhi oleh gagasan transformatif dari berbagai pemikir sosial, terutama perspektif Marxian, Gramscian, dan kemudian Foucauldian. Pengalaman aktivisme penulis bermula sejak menjadi mahasiswa (menjelang kejatuhan rezim otoritarian Orde Baru), lalu ketika penulis mendirikan organisasi pergerakan seperti AcSI yang mengorganisir pedagang pasar (2003).

Pada 2008, penulis juga bergabung dengan Komunitas Ininnawa yang bergerak di isu literasi dan pergerakan petani sepulang penulis studi magister Governance and Democracy di ISS, The Hague, serta aktif di Konfederasi INSIST yang membawa penulis bersentuhan dengan banyak organisasi gerakan sosial dengan beragam identitas di berbagai daerah di Indonesia.

Keterlibatan penulis dalam gerakan disabilitas pada akhir 2013 (bersamaan penulis mengambil studi doktoral Departemen Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada) setelah lebih 10 tahun, telah menuntun penulis untuk mengintegrasikan dimensi ontologis pengetahuan pergerakan dengan epistemologi perlawanan. Hal ini kemudian penulis praktikkan dalam kontestasi wacana perlawanan sehari-hari melalui organisasi pergerakan difabel (PerDIK) yang penulis dirikan pada 2016 yang juga mempertemukan penulis dengan banyak aktivis dari berbagai kelompok rentan di seluruh Indonesia.

Pengalaman-pengalaman inilah yang membentuk cara pandang penulis terhadap pentingnya gagasan interseksionalitas dalam aktivisme maupun akademisi untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif di masa mendatang.

Baca juga: Ketua PPDI Sulsel Kritik Bangunan Unhas yang Belum Inklusif untuk Kelompok Disabilitas

Interseksionalitas dalam aktivisme sosial dan kampus

Interseksionalitas merupakan sebuah kerangka konseptual yang memahami bagaimana berbagai kategori identitas dan sistem penindasan saling berkaitan dan berinteraksi satu sama lain. Konsep ini memandang bahwa berbagai dimensi seperti ras, kelas, gender, disabilitas, seksualitas, dan faktor-faktor lainnya tidak dapat dipahami secara terpisah, melainkan saling tumpang tindih dan membentuk pengalaman hidup yang kompleks.

Dalam konteks aktivisme sosial dan kampus, interseksionalitas menjadi sangat penting karena memungkinkan kita untuk memahami realitas hidup masyarakat secara lebih holistik. Pendekatan ini menghindari pandangan parsial yang hanya fokus pada satu isu atau kelompok tertentu, serta menghindari hierarki kepentingan di antara berbagai gerakan. Sebaliknya, interseksionalitas mendorong kita memahami bagaimana berbagai sistem penindasan saling terkait dan bagaimana berbagai kelompok marjinal saling terhubung.

Selama penulis intensif mengajar di kampus dan mengisi forum-forum diskusi yang diadakan mahasiswa, penulis menemukan situasi di mana sebagai dosen penulis mengangkat banyak sekali ragam identitas kewarganegaraan dan soal-soal yang dihadapi kepada mahasiswa ketika mengajar. Sebut saja saat penulis mengajar dua mata kuliah yang menurut penulis penting menjadi dasar dalam mengajarkan landasan filosofis dan ontologis kepada mahasiswa baru, yakni Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan.

Pengalaman panjang berinteraksi dengan banyak organisasi gerakan berbasis identitas kelompok-kelompok rentan, membuat penulis bisa meyakinkan bahwa gagasan atau pengetahuan yang ada dalam pikiran para aktor dan rules atau norma dalam institusi pergerakan sangat penting dipahami bersama. Penulis yakin, jika seorang pendidik tidak mengetahui beragam pengetahuan yang dimiliki orang-orang dengan ragam identitas ini, maka akan sulit menerapkan konsep yang disebut interkoneksitas dan interseksionalitas.

Pengetahuan tentu saja yang penulis maksudkan adalah juga merupakan kekuasaan, di mana bagi orang-orang dengan identitas yang telah mengalami marjinalisasi tentu pengetahuan/kekuasaannya juga mengalami tekanan yang tidak mudah ditangkap apalagi dipahami tanpa keseriusan dan intensitas yang tinggi berinteraksi dengan mereka.

Di sini, interkoneksitas merujuk pada pemahaman bahwa berbagai sistem atau struktur sosial saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sementara, interseksionalitas menekankan pada bagaimana berbagai kategori identitas dan sistem penindasan saling berkaitan dan berinteraksi untuk menciptakan pengalaman hidup yang kompleks bagi individu atau kelompok tertentu.

Dalam aktivisme sosial dan kampus, interkoneksitas memungkinkan kita untuk melihat keterhubungan antara berbagai isu, seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Sedangkan interseksionalitas mendorong kita untuk memahami bagaimana berbagai identitas seperti ras, kelas, gender, disabilitas, dan lainnya saling tindih dan menghasilkan pengalaman yang unik bagi setiap individu atau kelompok.

Pendekatan interseksionalitas lebih komprehensif karena tidak hanya melihat keterkaitan antara isu-isu, tetapi juga bagaimana sistem-sistem penindasan saling berinteraksi dan menciptakan kompleksitas dalam kehidupan manusia.

Cara berpikir inilah yang mendasari, kami di Pusdis Unhas dan media Readtimes menggagas Program Suara Inklusi. Program ini bertujuan untuk menyediakan ruang bagi kelompok-kelompok marjinal, dengan beragam identitas termasuk penyandang disabilitas, untuk menyuarakan pengalaman dan perspektif mereka.

Pendekatan interseksional akan memungkinkan program ini mengidentifikasi irisan dan keterkaitan antara berbagai identitas dan isu yang dihadapi oleh kelompok-kelompok tersebut. Dengan memahami kompleksitas pengalaman hidup masyarakat melalui lensa interseksionalitas, program ini dapat menghindari pandangan yang sempit dan melahirkan gerakan transformatif yang lebih komprehensif.

Baca juga: Launching Rubrik Suara Inklusi, Readtimes Teken Kerja Sama dengan Pusat Disabilitas Unhas

Ini baru awal

Pada akhirnya, setelah hari ini kita memulai menghimpun organisasi-organisasi dari kelompok yang dikategorikan rentan, lalu selanjutnya semakin banyak jangkauan kita ke berbagai latar identitas dan pengalaman hidup (yang tertindas dari kelompok dengan identitas mainstream) serta pikiran-pikiran yang kuat dari banyak pakar. Kelak kita juga akan lebih memungkin mengumpulkan berbagai pengetahuan dari kelompok rentan yang selama ini terpendam atau hanya beredar di kalangan internal mereka.

Penulis percaya bahwa subjektivitas pengetahuan kelompok-kelompok dari ragam identitas yang tertindas ini penting menjadi satu pengetahuan yang manifes dalam berbagai produk pengetahuan, khususnya yang diproduksi oleh kampus dan menjadi pengetahuan yang objektif karena telah terbuka untuk digali dan disuarakan, baik oleh akademisi maupun mereka sendiri dengan ruang-ruang terbuka yang kita siapkan dan manfaatkan bersama-sama.

Dengan memahami kompleksitas pengalaman hidup masyarakat melalui lensa interseksionalitas, Program Suara Inklusi dapat menghindari pandangan yang sempit dan melahirkan gerakan transformatif yang lebih komprehensif. Hal ini akan mendorong terwujudnya masyarakat yang benar-benar inklusif dan berkeadilan bagi seluruh kelompok, termasuk mereka yang selama ini tersisihkan.

Pada akhirnya, perspektif interseksionalitas yang memahami irisan dan keterkaitan antara berbagai identitas dan sistem penindasan, akan mendorong terwujudnya masyarakat yang benar-benar inklusif dan berkeadilan bagi seluruh kelompok, termasuk mereka yang selama ini tersisihkan. Hal inilah yang menjadi tujuan utama Program Suara Inklusi, dan menjadi aspirasi yang penulis harapkan dapat terwujud melalui kolaborasi semua pihak.

Oleh: Ishak Salim

Penulis adalah Kepala Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin

Editor: Ramdha Mawadha

Jabal Rachmat Hidayatullah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: