Judul : Tragedimu Komediku
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : Pojok Cerpen
Tahun : Juli 2023
Tebal : 276 hlm
Apa yang mengasyikkan dari membaca esai-esai Eka Kurniawan dalam buku teranyarnya ini–“Tragedimu Komediku”?
Pertama, Eka selalu bisa membicarakan fenomena puspa ragam aspek kehidupan—sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya—dari teropong (karya-karya) sastra. Sehingga nampak sastra menjadi subjek yang membumi, bisa dipakai untuk membicarakan hal-hal sederhana hingga yang rumit di lingkungan kita.
Kedua, bahasa dan narasinya yang super lentur dan sederhana yang menjadikan kesan sastrawan sohor Indonesia ini orang cerdas yang mampu berkomunikasi dengan semua orang tanpa terlihat sok pintar.
Ketiga, penulis novel “Cantik itu Luka” (2002) ini memberikan informasi sekaligus analisanya atas buku atau bacaan yang akan membuat kita terpesona sekaligus mendapatkan input pengetahuan baru. Kita benar-benar seperti membayangkan mendengar langsung dia bercerita di hadapan kita di sebuah kafe atau taman kota.
Rangkuman atas semua itu: “Tragedimu Komediku” pada akhirnya memberikan kita perspektif baru atas berbagai persoalan, memeriksa dan mempertanyakan kembali cara berpikir kita, dan yang tak kalah penting adalah menjadikan sastra sebagai teropong melihat dunia nyata, sastra sebagai perbincangan yang mengasyikkan, sastra sebagai dunia yang tidak ekslusif yang bisa dijangkau dan diakses oleh siapa saja.
Tengok saja esai “Kita, Tetangga, dan Papua” untuk melihat bagaimana Eka memberikan perspekif baru dalam melihat persoalan Papua. Pertama dia memberikan kita alegori apa yang dialami Papua dengan budaya pedesaan di mana orang-orang saling membantu dan gotong-royong. Jika negara diibaratkan sebagai pedesaan, maka Papua sebagai tetangga kita tidak mendapatkan perlakuan yang ideal yang wajib dibantu. Kita jarang melibatkan mereka dalam acara-acara, dalam kesempatan gotong-royong. Papua nyaris tidak menjadi bagian dari budaya komunal kita.
Eka juga menyoroti persoalan kekerasan seksual yang terjadi di satu kampus negeri terkenal di Indonesia. Penyelesaiannya diumpakan oleh Eka sebagai tindakan menyapu sampah ke bawah permadani. Ini bis akita baca dalam esainya, “Menyapu Sampah ke Bawah Permadani”. Dia membandingkan kasus ini dengan yang pernah terjadi dalam sejarah institusi pendidikan lainnya di dunia, gereja-gereja, sampai Akademi Swedia (lembaga yang menyelenggarakan Nobel Sastra) yang salah satu anggotanya terlibat pelecehan seksual yang membuat lembaga itu memutuskan untuk meliburkan pemberian hadiah nobel sastra selama setahun sebagai komitmen mereka pada pembangunan ekosistem yang tanpa pelecehan seksual.
Hal-hal remeh dalam keseharian menyangkut kebahasaan, bacaan, film, dan lain-lain juga diulik oleh Eka dengan gaya santai tapi menarik, kadang penuh dengan nuansa humor. Coba baca esainya, “Yang Benar Kongkorokok Yang Lain Salah”. Esai pendek ini akan membuat senyum-senyum tipis, karena barangkali akan sangat relate dengan kehidupan kita. Dia mempersoalkan soal istilah onomatopoeia dalam bahasa. Bagaimana kamu menuliskan bunyi ayam berkokok ke dalam kata? Mungkin kita akan bilang, kukuruyuk. Nah, di sini persoalannya. Karena di berbagai tempat memiliki cara sendiri ketika menuliskan bagaimana bunyi ayam berkokok. Di sini Eka bilang, bahwa terkadang kita sering memaksakan kebenaran versi kita sendiri dalam menafsir kenyataan.
Masih banyak lagi esai remeh-temeh dan dekat dengan kita, namun di tangan Eka semua realitas itu dirangkai dengan perspektif baru, nampak seperti bermain-main dan sekadar menghibur saja, tapi akan membuka atau menggelitik nalar kritis kita.
Esai yang ditulis rentang waktu 2018—2022 dan dimuat di Jawa Pos ini berisi esai pendek-pendek saja, tapi gaungnya bisa sangat panjang. Memang begitulah tugas (penulis) esai. Dan Eka sukses menunaikan tugas itu.
33 Komentar