RT - readtimes.id

Pelajaran Penting dari Prof. Nurdin

“Kenyataannya, anda tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Hidup adalah pengendaraan yang gila dan tidak ada yang menjaminnya.” – Eminem.

Hujan di hari Sabtu kelabu (27/2), membuat banyak warga Kota Makassar dan sebahagian besar Sulawesi Selatan tersentak membaca kabar yang menyebar di group whatsapp subuh pagi, “Prof Nurdin Abdullah (NA), Gubernur Sulawesi Selatan dijemput KPK” begitu kabar yang banyak tersebar.

Sontak, banyak yang kaget dan tidak percaya. Pasalnya sehari sebelumnya, lewat televisi dan  media sosial ribuan mata rakyat Sulsel baru saja menyaksikan Nurdin Abdullah dengan gagah memimpin parade pelantikan 11 kepala daerah, bupati dan walikota di Sulawesi Selatan, hasil pemilu Desember 2020 yang lalu.

“Rasanya saya tidak percaya, kemarin Prof baru saja melantik dan mengambil sumpah janji jabatan bupati dan walikota di Baruga Karaeng Pattingalloang rumah Jabatan Gubernur Sulsel, subuhnya sudah tangkap KPK”, tulis salah seorang warga Kota Makassar di salah satu beranda facebook.

Layaknya kata-kata rapper asal Amerika, Eminem, ‘Tidak pernah ada yang tau apa yang terjadi esok. Karena hidup memang seperti seorang pengendara gila’.

Prof Nurdin Abdullah yang sehari sebelumnya terlihat gagah dengan setelan jas lengkap memimpin dan menepuk pundak para kepala daerah bersama tanda pangkat yang dilekatkan, esok hari  mesti menggunakan rompi orange dan menghadap tembok menjadi tontonan rakyat Indonesia saat KPK menggelar konfrensi pers pengumuman penetapan Gubernur Sulsel tersebut sebagai tersangka.

Setiap peristiwa pasti memiliki pelajaran. Lalu, pelajaran apa yang bisa kita dapatkan dari peristiwa Prof. Nurdin Abdullah? Tentu sebelum lebih jauh, terlebih dahulu kita mesti tetap mengedepankan prinsip praduga tidak bersalah, sampai akhirnya persidangan akan memutuskan status hukum Prof Nurdin lebih lanjut.

Pelajaran Penting Prof NA, Bagi Kepala Daerah

Rentetan peristiwa yang menimpa NA adalah pelajaran penting bagi banyak kepala daerah yang baru saja dilantik, mereka yang melekat tanda jabatan dibahu yang dilekatkan oleh Prof. Nurdin sehari sebelum dijemput KPK. Pelajaran untuk menyadari potensi dan bahaya lingkaran ‘rent seeking’ atau lingkaran pemburu rente yang selalu hadir dan mencari keuntungan dari setiap arena kekuasan pemerintah baik pusat dan daerah.

Lingkaran ‘rent seeking’dalam kekuasaan pemerintah biasanya terdiri atas tiga kelompok yakni penguasa patrimonial,  pengusaha klien  (client businessmen) dan birokrasi klien. Fenomena gunung es, keterlibatan kalangan birokrasi dalam kasus rente atau gratifikasi bisa terbaca jelas lewat operasi tangkap tangan yang melibatkan Sekertaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Sulsel, Edy Rahmat (ER).

Yang menurut keterangan KPK sebagai representasi dari kepentingan NA untuk berhubungan dengan sejumlah kelompok kontraktor yang mengerjakan proyek infrastruktur.

Selain jejaring birokrasi klientelisme yang juga menyebabkan tumbuh suburnya praktik gratifikasi kekuasaan yakni  kehadiran ”pengusaha klien”  (client businessmen) layaknya Agung Sucipto (AS) yang menurut KPK merupakan kontraktor langganan Prof. Nurdin. Kehadiran kontraktor klien layaknya AS, merupakan gambaran dari ‘kamar rahasia kekuasaan’yang senantiasa membutuhkan modal untuk membiyai aktivitas politik dan pribadi para penguasa.

Sudah menjadi rahasia umum, relasi kontraktor dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang terhubung. Para kontraktor biasanya akan begitu aktif dalam mendekati penguasa, baik sebelum maupun sesudah penguasa itu terpilih menjadi kepala daerah atau pejabat. Kelompok kontraktor klien ini, hanya punya satu motif ‘monopoli proyek’.

Jika dilihat lebih dalam, tumbuh suburnya praktik dan lingkaran ‘rent seeking’ adalah warisan dari budaya patrimonial masa lalu yang dalam kacamata Max Weber sebagai “neo patrimonialism”. Ketika, penguasa, pengusaha dan birokrasi merasa sumberdaya pemerintahan baik anggaran dan kebijakan dikelola layaknya sebuah kerajaan.

Ketika para penguasa harus mendapatkan upeti layaknya para raja, para birokrat mencari dan mencatat sumber upeti dan para pengusaha memberikan upeti sebagai balas jasa kebaikan sang raja. Karena itu, mungkin para kepala daerah dan pejabat  mesti mengingat pesan sederhana Max Weber, ciptakan birokrasi pemerintah yang ‘legal dan rasional’.

Pemerintah yang kebijakannya berdiri dalam tata aturan, bahkan tata uang dan proyek berdasarkan aturan formal dan legal. Serta keputusan yang bersumber dari pertimbangan rasional dan bukan karena dasar janji dan upeti. Namun, seperti kata Eminem, “Kenyataannya, anda tidak tahu apa yang akan terjadi besok!

Terima kasih Prof atas Pelajarannya.

Rahmad M. Arsyad

40 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: