Oleh: Edy Junaedy Syaf
Sebagai sebuah bangsa, kita patut berbangga kerana Indonesia kini menjadi Negara demokratis ketiga di dunia. Setidaknya bila melihat angka Daftar Pemilih Tetap (DPT) tahun 2019 di Indonesia mencapai 196 juta orang. Jumlah tersebut di level dunia adalah nomor tiga setelah India (900 juta orang) dan Amerika Serikat (231 juta orang). Secara statistik, angka ini akan sulit dikejar oleh Negara berlandaskan demokrasi lainnya didunia.
Namun bila menilik kembali data Indeks demokrasi yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2020, Indonesia berada di urutan 64 dari 167 negara di dunia. Menurut catatan EIU, dan tergolong dalam kategori negara dengan “demokrasi yang cacat” atau flawed democracies. Ketidaksempurnaan yang dimaksud adalah negara-negara yang di mana pemilu masih berlangsung secara adil dan bebas serta kebebasan dasar sipil dihormati, namun dimungkinkan juga memiliki sejumlah masalah, seperti pelanggaran terhadap kebebasan pers dan sedikit membatasi gerak para oposisi maupun pemerhati politik. Negara-negara ini juga memiliki cacat yang signifikan dalam aspek demokrasi lainnya, termasuk memiliki budaya politik kaula (subjek), tingkat partisipasi yang rendah dalam politik, dan memiliki cukup banyak masalah dalam fungsi pemerintahan.
Sejatinya, pasca reformasi, indeks demokrasi di Indonesia terus mengalami peningkatan dan perbaikan dari tahun ke tahun. Indeks demokrasi di Indonesia telah mengalami peningkatan sejak tahun 2010 hingga puncaknya pada tahun 2015 dengan skor 7.03 pasca terpilihnya presiden Joko Widodo.
Sayangnya pada tahun 2017, demokrasi di Indonesia dianggap mengalami performa terburuk. Indeks demokrasi di Indonesia anjlok 20 peringkat ke posisi 68 dunia. Penyebab ialah bangkitnya gerakan sosial-masyarakat berbasis keagamaan yang kita kenal dengan politik identitas. Kasus penistaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Calon Gubernur DKI Jakarta menjadi penilaian buruk bagi terlaksananya prinsip-prinsip demokrasi. Sentimen agama dan etnisitas pada saat kontestasi (Pemilihan Gubernur) Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 menjadi tamparan bagi kebebasan sipil dalam berekspresi dan berpendapat di Indonesia.
Politik Identitas VS Prinsip-Prinsip Demokrasi
Berkaca pada kasus yang terjadi di Pilgub DKI Jakarta, Politik Identitas memiliki kekuatan yang ampuh dalam memenangkan kontestasi pilkada di Indonesia. Kebangkitan gerakan sosial berbasis keagamaan dan ras kerap menjadi modal sosial yang kuat karena corak Indonesia yang plural namun didominasi golongan tertentu. Pilkada Indonesia yang dilakukan dengan cara one man, one vote & one value, membuka tabir “cacat bawaan” demokrasi yang vox populi.
Bila penulis membenturkan fenomena Pilgub DKI Jakarta dengan prinsip-prinsip Demokrasi, maka poin penting yang penulis dapatkan bahwa nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama, dan mufakat yang menjadi prinsip demokrasi sulit untuk beriringan. Praktek politik Identitas berbasis keagamaan dan etnis akan selalu menjadi momok demokrasi. Apalagi bila menarik kontestasi ke ruang yang lebih besar seperti pemilihan Presiden. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa pulau Jawa adalah basis suara penentu sejak dini.
Kembali ke arena pilgub 2017, kegagalan Ahok sebagai petahana dalam kontestasi tersebut tidak dapat dilihat dalam ranah struktural, melainkan corak budaya politik yang selama ini berkembang di Indonesia. Ikatan primordial yang masih kuat berakar melampaui kekuatan penyelenggara pemilu. Pendekatan institusional Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak mampu meredam gelombang politik Identitas yang semakin kuat seiring berakhirnya masa kampanye.
Fakta lapangan memperlihatkan bahwa atribut-atribut keagamaan kerap dipakai sebagai alat peraga kampanye pasca “blunder” diksi Ahok. Belum lagi aksi ujaran kebencian yang mengiringi setiap kampanye akbar. Bahwa pada akhirnya Ahok dan pasangannya tetap mengikuti pilgub DKI, namun kampanye negatif (negative campaign) yang berlangsung secara massif tidak mendapat ketegasan berarti dari Bawaslu.
Sejauh ini, praktik politik identitas memang merupakan bagian dari strategi pemenangan peserta pemilu. Hal ini menjadi kewajaran apabila melihat pemilu hanya sebagai proses merebut atau mempertahankan kekuasaan. Sayangnya, efek polarisasi yang ditimbulkan di ruang sosial menjadi pekerjaan rumah yang sulit diselesaikan pasca pemilu.
Sebagai ibukota Negara, Jakarta dihuni oleh kelompok masyarakat yang Heterogen. Tidak kurang dari tujuh juta orang dari berbagai suku dan ras menjadi penduduk sekaligus masuk sebagai DPT. Keragaman inilah yang terus dijaga di Ibukota (dan kota-kota besar lainnya) agar pluralisme (kebhinekaan) menjadi kekuatan untuk membangun Negeri. Namun, sekali lagi pilkada Jakarta menampik pemahaman Theda Skocpol dan Kenneth Finegold dalam buku Political Science Quarterly (1982) bahwa Pluralisme adalah konsepsi politik yang “secara sosial determinis” (socially determinist).
Pertarungan politik Jakarta justru menjauhkan diri pada prinsip Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik. Perbedaan etnis, agama dan kesenjangan ekonomi mengantar Anies Baswedan menjadi Gubernur terpilih pasca putaran kedua. kesamaan etnik menjadi wajan besar untuk mendulang suara guna menelikung keberhasilan program pembangunan Jakarta yang digaungkan pasangan petahana.
Sebagai penutup, penulis juga berbangga atas pencapaian besar praktik demokrasi terbesar ketiga di Dunia. Namun di balik gempita demokrasi, pilkada ternyata menyisakan banyak persoalan kebangsaan. Bagaimana tidak, pertarungan ibukota hampir saja merusak tatanan persatuan dan kesatuan bangsa. Isu etnis dan agama yang selama ini dijaga agar tetap stabil, dijadikan senjata utama memenangkan pertarungan politik. Pada akhirnya, prinsip kebhinekaan luput dari Negara yang berbasis demokrasi Pancasila.
Tambahkan Komentar