readtimes.id– Kehadiran payung hukum penghapusan kasus kekerasan seksual lagi -lagi menemui hambatan karena adanya perbedaan pandang. Jika sebelumnya ada rancangan undang-undang penghapusan tindak pidana kasus kekerasan seksual yang ditunda pengesahannya, belakangan ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) No 30/2021 yang turut diprotes.
Seperti yang diketahui Permendikbud Ristek ini mengatur terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Ditetapkan 31 Agustus 2021 Permendikristek yang akan disosialisasikan secara daring melaluI Youtube Kemendikbud pada 11 November mendatang, belakangan justru diprotes oleh sejumlah ormas islam dan juga partai politik.
Adalah Muhammadiyah, dan Partai Keadilan Sejahtera yang berkeberatan atas diterbitkannya Permendikbud Ristek tersebut. Bahkan meminta untuk segera dicabut.
Alasannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilontarkan ketika menolak pasal-pasal yang tertuang dalam rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual ( RUU PKS) sebelum akhirnya berganti nama dengan rancangan undang-undang penghapusan tindak pidana kasus kekerasan seksual ( RUU TPKS).
Pertama adalah rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam pasal 5 Permendikbud tersebut, dinilai menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan seperti yang diungkapkan oleh Ketua Majelis pendidikan tinggi penelitian dan pengembangan PP Muhammadiyah, lincolin Arsyad dalam keterangan resminya, Senin (8/11).
Adapun salah satu definisi kekerasan seksual yang diatur dalam pasal yang dimaksud adalah menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk mencium dan/atau menggosok bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.
” hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah, “terangnya.
Pihaknya menilai standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual pada akhirnya menurut permendikbud ini tidak lagi berdasar pada nilai agama dan prinsip ketuhanan yang maha esa. Namun, persetujuan dari para pihak.
Begitu pula dengan Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ). Melalui Ketua Fraksi PKS DPR -RI, Jazuli Juwaini mengungkap bahwa penerbitan Permendikbud telah menimbulkan keresahan, kegelisahan, dan kegaduhan di masyarakat. Hal ini yang menurutnya hendak disampaikan oleh Fahmi Alaydrus anggota fraksi PKS yang belakangan viral karena aksi interupsinya diabaikan oleh Puan Maharani saat rapat paripurna DPR RI pasca menyetujui Andika Perkasa sebagai Panglima TNI menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto, Senin ( 8/11).
Menurutnya, Fahmi menilai regulasi ini sama sekali tidak menjangkau atau menyentuh persoalan pelanggaran asusila yang sangat mungkin terjadi di lingkungan perguruan tinggi, termasuk praktek perzinahan dan hubungan seksual sesama jenis atau LGBT.
Selain itu, dia juga mengaku heran dengan langkah Kemendikbud membuat peraturan yang dapat ditafsirkan mengabaikan nilai-nilai agama, Pancasila, hingga menabrak nilai-nilai Luhur adat dan budaya Indonesia sebagai bangsa yang beradab.
Merespon ini pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal pendidikan tinggi, riset, dan teknologi, Nizam, mengatakan bahwa tujuan utama peraturan ini adalah justru untuk memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.
” Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 hadir sebagai langkah awal kita untuk menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, pemimpin perguruan tinggi dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi kita, “jelas Nizam dalam keterangan persnya.
Mengenai adanya pandangan bahwa Permendikbud ristek nomor 30 tahun 2021 melegalkan perizinan menurutnya anggapan tersebut muncul karena kesalahan persepsi atau sudut pandang.
Baca juga : Darurat Kekerasan Seksual di Kampus
” tidak ada satupun kata dalam permen PPKS ini yang yang menunjukkan bahwa Kemendikbud ristek memperbolehkan perzinahan. Tajuk di awal Permendikbud ristek ini adalah pencegahan, bukan pelegalan, “tegasnya.
Lebih jauh Nizam juga menyampaikan bahwa hadirnya permen PPKS ini adalah untuk merespon aduan dari beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa yang menyampaikan keresahannya atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti oleh pimpinan perguruan tinggi .
Dukungan dari Akademisi hingga Organisasi Mahasiswa
Dihubungi secara terpisah pengajar hukum pidana, Universitas Hasanuddin, Audyna Mayasari Muin, memandang bahwasanya penerbitan permendikbud ristek nomor 30 Tahun 2021 memiliki semangat yang baik dalam konteks pencegahan dan pengendalian kekerasan seksual yang terjadi di lingkup kampus.
Bahkan menurutnya kehadiran Permendikbud tersebut saja tidak cukup. Hal ini tidak lain karena Permendikbud ini hanya mengatur sanksi administratif saja, sementara jika diperhatikan payung hukum terkait kekerasan seksual sudah banyak tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan.
” Jadi tinggal bagaimana pengoptimalan keberlakuan permendikbud ristek ini. Setiap elemen dalam perguruan tinggi harus bekerja sama dalam menindak tegas para pelaku kekerasan seksual khususnya dalam lingkup kampus, ” terangnya secara tertulis pada readtimes.id.
Selanjutnya yang tidak kalah penting menurutnya adalah memaksimalkan fungsi dari satuan tugas yang telah terbentuk dalam melindungi kepentingan korban. karena menurutnya seringkali tidak optimalnya penanganan kekerasan seksual tak lain dikarenakan ketakutan dari korban untuk melapor dan bahkan di beberapa media seolah ada oknum kampus yang tidak menindak tegas pelaku tersebut.
Baca Juga : Kekerasan Seksual dalam Bingkai Media Kita
Kendati demikian pembuktian terkait ada atau tidak kekerasan seksual juga penting untuk tidak diabaikan. Ini tidak lain untuk mencegah jikalau ada upaya kriminalisasi pada sosok atau kelompok tertentu.
Lebih jauh menyoal tafsiran yang melegalkan zina menurut Audyna itu tidak lain muncul dari frasa “tanpa persetujuan korban” yang terdapat dalam Permendikbud tersebut, dimana ditafsirkan secara beragam oleh banyak pihak. Pun demikian menurutnya itu tidak serta merta dapat diartikan bahwa kehadiran Permendikbud tersebut mengarahkan pada pelegalan zina.
Selanjutnya dukungan juga datang dari Siti Khafidz Mufti, Koordinator Umum Komite Anti Kekerasan Seksual Unhas, yang memandang bahwa kehadiran permendikbud PPKS ini sebenarnya adalah jalan terang dan ‘pelicin’ dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual.
Hal ini sangat diperlukan karena selama ini kebanyakan penyelesaian kasus kekerasan seksual di kampus masih terhambat oleh beberapa hal, mulai dari korban yang dilapor balik oleh pelaku dengan tuduhan pencemaran nama baik, ancaman Drop Out , intimidasi hingga kriminalisasi kepada korban. Lagi-lagi faktor relasi kuasa yang timpang adalah penyebabnya.
” karena pelaku adalah pemegang kuasa di birokrasi serta investigasi kampus yang dilakukan secara tertutup dan berujung tidak adanya putusan yang berpihak bagi korban”, pungkasnya.
Tambahkan Komentar