RT - readtimes.id

Perempuan Asia Tenggara: Minim Catatan, Digempur Bias Budaya dan Agama

Judul : Kuasa Rahim, Reposisi Perempuan Asia Tenggara Periode Modern Awal 1400—1800
Penulis : Barbara Watson Andaya
Penerbit : komunitas bambu
Tahun : Oktober 2021
Tebal : xviii + 388 hlm

Di Asia Tenggara, sejarah posisi dan peran perempuan dalam masyarakat dibaluti kabut: samar dan nyaris gelap. Di Kawasan yang merentang dari semenanjung Indochina sampai kepulauan Melayu (termasuk Indonesia) ini tidak memiliki sumber terang tentang bagaimana perempuannya bertindak dan berpikir. Kalaupun ada, suara tersebut diwakili oleh sumber-sumber bias patriarkis.

Hal-hal rumit dan runyam inilah yang dihadapi sekaligus jadi tantangan oleh sejarawan feminis sekaligus guru besar kajian Asia di Universitas Hawai di Manoa, Barbara Watson Andaya. Sumber-sumber arkeologis, tulisan, maupun lisan, rupanya menjadi sumber yang nyaris sama tidak memuaskannya. Perempuan masih dicatat sebagai sekadar pelengkap dalam aktifitas masyarakat, atau berakhir dalam simpulan normatif: kehidupan mereka baik-baik saja.

Barbara dengan penuh sikap kritis dan berhati-hati mengajukan pertanyaan penuh risiko berbasis risiko: bagaimana sesungguhnya kehidupan perempuan Asia Tenggara di masa lalu, khususnya pada periode modern awal (akan djielaskan di bawah)? Apa saja masalah dan tantangan yang mereka hadapi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat? Benarkah kehidupan mereka baik-baik saja? Bagaimana adat, budaya, agama, politik, negara, dsb menilai, mengatur, dan mengontrol perempuan?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang coba diuraikan penjelasannya oleh Barbara dalam bukunya setebal nyaris 400 halaman ini. Pertama-tama, Barbara memeriksa secara kritis sumber-sumber tersebut, tidak lantas diterima simpulannya dengan begitu saja. kemudian, Barbara mulai mengajukan pertanyaan berbasis gender dengan membandingkan dengan sumber-sumber lain.

Terakhir, dia menyediakan ruang pandang baru bagi kita untuk melihat bagaimana posisi perempuan Asia Tenggara dalam periode yang dibicarakan.
Ada tujuh bagian—di luar dari Pendahuluan dan Kesimpulan—di dalam buku ini yang mengulik persoalan perempuan di Asia Tenggara. Mulai dari kaitan perempuan dengan perubahan agama atau kepercayaan, perubahan ekonomi, negara, kawula, dan sebagainya.

Judul asli buku ini adalah “The Flaming Womb: Repositioning Women in Early Modern Southeast Asia”. Kemudian diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, “Kuasa Rahim, Reposisi Perempuan Asia Tenggara Periode Modern Awal 1400–1800”. Diterbitkan oleh penerbit Komunitas Bambu, penerbit yang fokus pada isu-isu sejarah.

Tanpa menafikan signifikansi tema yang mengetengahkan sejarah perjuangan perempuan dunia khususnya yang merujuk pada tuntutan kesetaraan ekonomi-politik di Amerika, barangkali kita yang berada di kawasan Asia Tenggara ini perlu juga mempelajari sejarah posisi dan peran perempuan sejak masa modern awal, saat daerah ini mulai mengalami penetrasi ekonomi global secara dalam, bergairahnya persebaran agama-agama dunia, besarnya kekuatan negara, dan terbentuknya gagasan mengenai keperempuanan dan kelaki-lakian.

Buku bagus ini tergolong berani, karena berhadapan dengan data sejarah yang sangat minim dalam hal bagaimana posisi perempuan di Asia Tenggara. Keberaniannya ada pada mempertanyakan kembali hipotesa-hipotesa yang termuat dalam referensi yang kadung diterima sebagai kebenaran. Dia siap dengan pertanyaan kritis berbasis gender, dan teguh dengan analisa jembar dan dalam–yang nuansanya agak sensitif.

Sebagai gambaran sekilas hal yang dielaborasi oleh Barbara: posisi perempuan Asia Tenggara (contoh kasus: Vietnam, Assam, dll) sebelum datangnya pengaruh Cinanisasi berspiritkan konfusianisme, dan masuknya agama-agama besar dunia, cenderung memberikan pandangan yang inklusif bagi peran perempuan.

Perempuan menjadi pemimpin dalam ritual pertanian (karena pertanian memiliki simbol proses reproduksi perempuan), menuntun acara spritual dengan menjadi dukun, dan bebas memilih pasangan (kohabitasi) serta menikah kembali setelah menjadi janda.

Namun ketika gelombang Cinanisasi yang dibawa oleh migrasi bangsa Han ke daerah-daerah bangsa Non-Han, juga masuknya agama-agama besar, konsep gender itu sedikit banyak mengalami perombakan: ada tradisi ikat kaki di China untuk menghalangi mobilitas perempuan, perempuan yang terlibat dalam perdukunan diberi streotype didorong oleh kekuatan sihir, atau perempuan di Mughal dan Bali dituntut untuk setia ‘buta’ seperti tradisi sati yakni pembakaran janda hidup-hidup saat suaminya meninggal sebagai bukti kesetiaan.

Untuk kasus di Indonesia sendiri, Barbara mengelorasi masalah perempuan di Jawa, Bali, Aceh, dan beberapa tempat lainnya. Uraian masalahnya kaya dan beragam, informatif, dan menarik. Misalnya, diteliti bagaimana di Aceh dan beberapa tempat lain ada syair-syair yang sangat menyudutkan kaum perempuan.

Saya pikir, buku ini sangat menarik dan penting dibaca untuk mengisi perspektif baru, khususnya gender, dalam melihat sejarah Asia Tenggara, termasuk kita di Indonesia ini.

Dedy Ahmad Hermansyah

1 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: