Readtimes.id– Posisinya sebagai pilar keempat di negara demokrasi untuk menyampaikan informasi ke masyarakat sekaligus alat kontrol atas kebijakan pemerintah yang dijamin oleh undang -undang, nyatanya tak menjamin kerja-kerja jurnalistik aman dari yang namanya kekerasan.
Tercatat oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ada sekitar 84 kasus kekerasan terhadap wartawan di seluruh Indonesia sepanjang tahun 2020. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 2019 ada 53 kasus, seperti yang kemudian pernah dipaparkan oleh Abdul Manan, Ketua AJI, pada konferensi pers di penghujung tahun 2020.
Bentuk kekerasannya pun beragam. Dari intimidasi penyebaran data pribadi, merampas alat, menghapus hasil liputan, mempidanakan sampai pembunuhan.
Mengomentari kasus yang berulang dan cenderung tinggi tiap tahunnya meski sudah ada payung hukumnya, Koordinator Advokasi AJI Makassar, Syahrul Ramadhan, mengatakan jika hal ini bisa terjadi karena ketidakpahaman aparatur negara mengenai hal-hal fundamental yang diatur dalam undang-undang pers
” Sebenarnya beragam faktor, namun yang paling mendasar itu adalah ketidakpahaman aparatur dalam hal ini institusi atau lembaga negara dalam memahami hal-hal fundamental yang diatur dalam UU Pers seperti mekanisme atau prosedur pemberitaan seorang jurnalis misalnya” ujar Syahrul
Ini dapat dibuktikan dengan data kasus kekerasan terhadap wartawan yang memang cenderung banyak dilakukan oleh aparatur negara, seperti oknum kepolisian, tentara, aparat pemerintah pusat, pejabat pemerintahan di daerah , kader parpol dan sebagainya.
Lebih miris lagi penyelesaian kasusnya pun tak semudah yang dibayangkan. Tak semua lantas bisa tuntas meskipun sebelumnya korban sendiri yang meminta pendampingan di organisasi terkait. Beberapa bahkan ada yang berhenti di tengah jalan karena korban merasa khawatir kasusnya akan berdampak besar pada kehidupan pribadinya serta keluarganya di kemudian hari
Seperti kasus Andis yang pernah didampingi AJI Makassar misalnya, adalah seorang jurnalis inikata.com yang menjadi koban kekerasan oleh aparat kepolisian di Gedung DPRD Makassar pada tahun 2018. Kasusnya terpaksa berhenti di tengah jalan karena permintaan keluarga yang khawatir akan dampak yang lebih besar jika kasusnya dilanjutkan. Tak berhenti di situ saja bahkan keluarga meminta Andis berhenti menjadi jurnalis.
Bila belajar dari kasus ini, nampak memperlihatkan relasi kuasa yang timpang antara korban dan pelaku adalah faktor penyebab lain tak bisa dipungkiri juga berpengaruh pada upaya penyelesaian kasus kekerasan terhadap wartawan. Selain itu hal ini yang kemudian tak secara langsung juga akan berpengaruh pada naiknya angka kasus kekerasan terhadap wartawan di tahun berikutnya karena pelaku tak menemui efek jera
” Regulasi dan payung hukum kita sudah cukup baik sebenarnya, tapi ya itu dalam setiap kasus ujungnya tetap dikembalikan lagi pada yang bersangkutan dalam hal ini korban, apakah memutuskan untuk lanjut atau tidak” terang Syahrul
Jelas ini menjadi pekerjaan rumah bagi dewan pers, organisasi profesi jurnalis, lembaga media, aparat penegak hukum dan tak terkecuali juga pemerintah untuk tak hanya hadir di permukaan saja dengan pembuatan sejumlah regulasi perlindungan terhadap wartawan, namun juga turut memastikan secara langsung bahwa wartawan memperoleh hak-hak sebagaimana mestinya melalui peningkatan kompetensi peliputan, pemahaman perlindungan akan hukum dan pelatihan dalam pengendalian emosi serta trauma sebagai akibat dari perlakuan yang tidak menyenangkan di lapangan.
Tambahkan Komentar