16 peti buku diangkut dari Belanda ke Batavia pada tahun 1932. Moh. Hatta, pemilik peti-peti tersebut, membutuhkan waktu tiga hari untuk menyusunnya setiba di tanah air. Tiga tahun kemudian, pada 1935, 16 peti buku itu pergi lagi bersama pemiliknya ke pengasingan di Boven Digoel. “Anda ke sini dibuang atau mau buka toko buku?” kata rekannya sesama buangan, Moh. Bondan.
Tidak berhenti sampai di situ: buku-buku yang telah bersamanya dari Belanda ke Batavia kemudian ke Boven Digoel mesti melanjutkan ‘petualangan’ lagi ke pengasingan lain di Banda Neira pada 1936.
Ikut bersamanya adalah Sutan Sjahrir. Di sini ada kisah menarik yang sangat sohor menyangkut buku-buku itu:
Saat akan kembali dipulangkan dari Banda Neira ke Batavia pada 1942, Moh. Hatta dan Sjahrir bersitegang menyangkut buku-buku itu. Pasalnya, Sjahrir ngotot membawa enam anak angkatnya ke Batavia, sementara Moh. Hatta tetap kukuh membawa buku-bukunya. Mereka harus memilih antara anak angkat atau buku, mengingat daya muat dan daya angkut pesawat terbatas.
Jalan tengah didapatkan: beberapa peti buku Hatta ditinggal di Banda Neira dan dijaga oleh salah satu anak angkat Sjahrir.
Ini hanya sepenggal cerita yang menjadi cermin betapa pendiri bangsa kita begitu mencintai buku. Hatta memang pecandu buku yang suntuk, para sahabatnya berseloroh bahwa sebetulnya “istri pertama” Hatta adalah buku, sedangkan Rahmi—perempuan yang ia nikahi pada November 1945—adalah “istri kedua”. Dan untuk melamar Rahmi, dia telah menyediakan ‘mahar’ satu buku yang ia tulis sendiri berjudul “Alam Pikiran Yunani”.
Kita belum menyinggung kisah Tan Malaka, Soekarno, Yamin, dan lan-lain yang memiliki kisah yang tidak kalah gilanya menyangkut dunia buku. Tan Malaka begitu mencintai dunia perpustakaan dan menekankan arti penting toko buku. “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi,” begitu tulisnya dalam magnum opusnya—Madilog.
Dunia yang kita hadapi saat ini memang telah berjalan jauh meninggalkan semangat zaman saat Moh. Hatta hidup. Teknologi kian maju, ilmu pengetahuan semakin mutakhir. Tetapi entah kenapa, sampai saat ini, kita masih sering mendengarkan keluhan banyak orang di negara kita tercinta ini tentang betapa buku begitu susah dijangkau—secara fisik maupun ekonomis.
Apakah pendiri bangsa kita lupa mendiskusikan hal ini dan mendorongnya menjadi prioritas utama kemerdekaan?
Saya pernah mendengar cerita dari satu catatan perjalanan, presiden Kuba Fidel Castro saat berhasil merebut kekuasaan, yang pertama-tama dia lakukan adalah membuat program pengadaan perpustakaan di desa-desa pelosok. Che Guevara sang legendaris dan karismatik yang ikut bersama Fidel Castro menumbangkan rezim Batista sering membacakan karya-karya sastra kepada tentara yang dia pimpin.
Sementara elit-elit kita sibuk dengan politik kepentingan. Jarang sekali inspirasi mereka berangkat dari buku-buku. Kendaraan politik mereka bagai mesin robot—tanpa jiwa. Mereka punya banyak uang, tapi tidak memiliki banyak pengetahuan yang berharga.
Dunia buku selalu dianggap penting dalam retorika, dan faktanya selalu menginspirasi dalam sejarah. Tapi kenyataan saat ini terlalu jauh dari cita-cita dan angan-angan.
2023 menjelang. Apa yang bisa kita harapkan? Kita memang tak boleh terjebak dalam pesimisme, tapi bukan perkara mudah untuk membangun optimisme. Yah, mari kita berharap hal terkecil saja, seperti keinginan Tan Malaka: toko buku tidak tergeser oleh toko pakaian dan makanan. Kita memang perlu makan dan menghangatkan badan, tapi jangan lupa untuk memberi pakaian dan makanan kepada otak kita.
Selamat datang 2023. Semoga nasib baik tetap akan datang kepada para pecinta buku.
Tambahkan Komentar