RT - readtimes.id

Polemik Kenaikan Harga dan Kelangkaan BBM

Readtimes.id– Kenaikan dan kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa pekan terakhir cukup membuat masyarakat resah dan menimbulkan berbagai polemik. Sejumlah daerah sempat dilaporkan mengalami kelangkaan BBM jenis pertalite dan solar. Kini harga pertamax juga naik, dan mengakibatkan beberapa aktivitas perekonomian terhambat bahkan memicu seruan aksi demonstran.

PT Pertamina resmi menaikkan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Ron 92 atau Pertamax menjadi Rp 12.500-Rp 13.000 per liter dari yang sebelumnya Rp 9.000-Rp 9.400 per liter. Kenaikan tersebut mulai berlaku pada 1 April 2022.

Kenaikan harga minyak mentah dunia di pasar internasional turut mengerek harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) pada Maret 2022 sebesar US$ 113,50 per barel dari yang sebelumnya US$ 95,72 per barel. Hal ini menjadi salah satu penyebab utama harga BBM non subsidi turut mengalami kenaikan.

Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati menyayangkan sikap masyarakat yang meributkan kenaikan harga jual Pertamax yang dilakukan Pertamina. Terlebih badan swasta lain menjual RON dengan jenis yang sama lebih mahal dibandingkan Pertamina.

“Kita pahami kesulitan masyarakat tapi nggak bisa nanggung seluruhnya. Jadi mohon dipahami. Kompetitor Pertamina Rp 16.000 per liter pada ribut gak? Sama lho RON 92,” ujar Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII, Rabu (6/4/2022).

Menurut dia kenaikan harga BBM tak hanya terjadi di Indonesia saja, namun juga seluruh dunia. Bahkan Nicke mengklaim harga jual BBM di Indonesia termasuk yang paling murah di dunia. Pasalnya, subsidi yang digelontorkan pemerintah begitu besar.

Misalnya jika dibandingkan dengan UK, harga jual BBM setara Pertamax Turbo RON 98 saja di negara tersebut sudah tembus Rp 44.500 per liter. Sementara di Indonesia masih dijual di harga Rp 14.500 – Rp 15.100 per liter, tetap atau tidak berubah dari Maret 2022.

Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi juga menilai kenaikan harga pertamax harus dilakukan karena memang harga minyak dunia itu mahal. Fahmy juga menilai, kenaikan harga pertamax bukan pemicu utama naiknya harga BBM lain seperti pertalite.

“Pertamax naik juga tidak serta merta migrasi ke pertalite, ya sekitar 2 persen. Konsumen menengah ke atas jarang pindah karena memang pertamax peruntukan untuk mesin kendaraan mahal yang dimiliki kaum menengah atas,” jelas Fahmy.

Pun jika terjadi kelangkaan BBM jenis lain, Fahmy menilai ada faktor lain yang lebih mempengaruhi menipisnya stok BBM di sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), yaitu wacana kenaikan harga pertalite dan gas LPG.

“Saya melihat ini karena statement Pak Luhut yang mengungkapkan bahaya secara berkala harga pertalite dan LPG akan naik, nah ini membuat panic buying sehingga masyarakat menyerbu pertalite, akhirnya stok kosong,” ungkapnya.

Fahmy kemudian menggarisbawahi pengawasan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang memang cukup sulit melakukan pengawasan terhadap konsumen pertamax agar tidak bermigrasi pada pertalite. Pasalnya distribusi BBM ini bersifat terbuka, tidak ada larangan yang pasti, sehingga siapapun bisa membeli jenis BBM apapun.

Selain itu, dari polemik harga BBM ini, Fahmy juga menyoroti aksi massa pada 11 April 2022 yang menuntut menurunkan harga BBM. Fahmy menilai pesan para demonstran ini kurang tepat karena hanya akan menguntungkan kaum menengah atas.

“Yang dinaikkan hanya pertamax, pertamax dex dan BBM di atasnya yang diperuntukkan untuk kaum menengah ke atas, artinya pesan yang disampaikan Menurut saya kurang tepat karena ini justru akan memudahkan kaum menengah ke atas yang justru tidak mempermasalahkan kenaikan harga tersebut,” jelas Fahmy.

Menurutnya, akan lebih tepat jika menuntut untuk tidak menaikkan dan menjaga stabilitas pertalite, LPG dan solar bersubsidi yang diperuntukkan untuk kaum menengah ke bawah.

Kelangkaan Solar Lebih Berbahaya

Fahmy Justru memberi perhatian lebih pada kelangkaan solar yang dinilai akan menimbulkan dampak yang lebih berbahaya pada masyarakat. Bahan bakar jenis solar banyak digunakan oleh mobil-mobil logistik yang mendistribusikan barang-barang kebutuhan masyarakat di pasaran.

Setelah solar mengalami kelangkaan, antrean mobil-mobil tersebut cukup panjang dan terjadi dalam beberapa hari yang mengakibatkan barang-barang yang dibutuhkan terlambat didistribusikan, hal ini justru bisa memicu inflasi.

“Mobil logistik ini jika harus mengantre dan terlambat masuk di pasar maka pedagang juga butuh biaya lebih untuk menanggung kerugian dan kekosongan barang akibat terlalu lama di jalan, kemudian harga barang naik, bisa memicu inflasi dan daya beli menurun,” jelasnya.

I Luh Devi Sania

1 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: