Readtimes.id— Dunia bisnis digital kini tengah diramaikan dengan perang harga dari pemberian potongan harga (diskon), voucher, dan layanan-layanan lainnya yang disediakan dengan harga yang sangat terjangkau. Hal ini terjadi utamanya pada layanan pesan antar yang disediakan oleh beberapa unicorn di Indonesia.
Hal ini tentu dirasa cukup menguntungkan bagi para pengguna aplikasi jasa tersebut dan akhirnya semakin meningkatkan penggunaan aplikasi tersebut, namun di balik suksesnya pemberian potongan harga ini ternyata menyimpan polemik pada mitra atau karyawan yang bekerja sebagai pengantar (driver).
Beberapa driver ojek online (ojol) penyedia jasa pesan antar tersebut mengeluhkan ketidaksepadanan upah yang mereka dapat dengan perjuangan mereka saat mengambil pesanan hingga mengantarkannya kepada pelanggan. Pasalnya diskon besar besaran yang disediakan aplikasi akhirnya memangkas begitu banyak ongkos kirim yang seharusnya dibayarkan kepada para driver.
Seperti yang diungkapkan salah satu driver ojol pada media sosial Twitter yang mengeluhkan rendahnya pendapatan mereka selama terjadinya perang harga antar unicorn ini.
“Padahal, layanan pesan antar tuh ngebantu banget UMKM dan resto di masa pandemi gini. Rela kehujanan, rela antri, rela banjir-banjiran. Sesuai kah perjuangan kita dengan harga segini?
Atau berharap customer punya nurani untuk melebihkan melalui tip?
Inikah apresiasi yang layak buat kita?”, ujar pemilik akun @AbangojolBOTak
Bagaimana tidak, biasanya dari sekali pesanan mereka bisa mendapatkan hingga lebih dari Rp10 ribu kini bahkan bisa menjadi Rp 0 untuk sekali pengantaran.
Baca Juga : Peluang Layanan Pesan Antar di Masa PPKM Darurat
Akhirnya sebagian driver ini pun berharap ada uang tip dari pelanggan seperti yang diungkapkan oleh salah salah satu ojol di atas. Namun pelanggan pun merasa memberi tip adalah bukan kewajiban mereka, seperti yang diungkapkan salah satu pengguna Twitter @WidasSatyo
“Sure, aku pribadi sering kasih uang tip. Cuman kok kesannya customer jadi dibebankan tanggungjawab moral buat mensejahterakan driver ya? Effort perusahaan yang jadi mitra gimana? Genuinely asking,” ungkapnya
Benar saja, hal ini kemudian ramai dibahas oleh warganet. Mereka mempertanyakan bagaimana standar kelayakan bagi pekerja pada sebuah unicorn besar penyedia jasa tersebut
Pengamat Ekonomi Digital dan Bisnis Universitas Negeri Semarang, Bayu Bagas Hapsoro mengatakan memang seharusnya ada standar kelayakan bagi para pekerja atau mitra yang memanfaatkan layanan aplikasi pesan antar tersebut, tetapi kenyataannya memang tidak semudah itu.
“Faktanya platform online juga harus bagi untung untuk investor yang sudah keluar triliunan rupiah. Termasuk menutup kerugian ‘bakar duit’ saat awal berdiri. Belum lagi biaya operasional perusahaan teknologi memang tinggi, khususnya untuk operator dan pengembang web,” jelasnya
Bayu menjelaskan hal serupa juga pernah dikeluhkan mitra iTunes, aplikasi perusahaan apple saat masih dipimpin mendiang steve jobs. Para label rekaman merasa apple lebih banyak mengambil keuntungan daripada seharusnya yang akhirnya mematikan bisnis kaset dan CD.
Pada aplikasi penyedia jasa pesan antar selama ini diuntungkan dengan nilai kapitalisasi raksasa, ditambah lagi dengan data mining pelanggan yang jauh lebih berharga.
“Mereka juga mengutip sekitar 20 persen per transaksi untuk manajemen fee. Itu angka yg besar sekali, ini saya rasa yang buat para driver itu merasa tidak sebanding antara harga dan layanan,” ungkapnya
Jika mitra merasa dirugikan, Bayu beranggapan perusahaan harusnya meningkatkan bargaining position (posisi tawar menawar dalam suatu bisnis atau perdagangan) mereka dengan menguatkan semacam serikat pekerja yang sudah ada, serta pendampingan hukum dari lembaga bantuan hukum (LBH).
“atau bisa berjuang lewat media sosial. Saya kira bisa ada win win solution untuk para mitra ini,” jelas Bayu
Perang harga yang terjadi ini merupakan salah satu strategi persaingan pasar untuk menjaga daya saing terhadap kompetitor, hal ini merupakan hal yang wajar dan dapat dipahami dalam dunia bisnis, karena ada sejumlah pemain baru yang mulai masuk ke sektor jasa kirim ini.
Masalahnya, aplikasi ini yang awalnya sebagai layanan jasa antar penumpang karena pandemi jd ikut tertarik ke jasa pengiriman yang sedang naik daun. Padahal beberapa gerai juga telah menyediakan jasa kirim sendiri, belum lagi jasa kirim pesaing baru yang melakukan penetrasi pasar dengan harga yg lebih terjangkau.
“Namun perlu diingat, konsumen dalam memilih tidak hanya murah, tp apakah jasa kirim itu reliable/bisa diandalkan apa tidak? Murah jangan jangan tdk amanah, barang rusak atau hilang,” ungkap Bayu
Maka jawaban hal ini, harus kembali pada USP (Unique Selling Proposition) pada masing-masing Perusahaan. Apa bisnis inti yang menjadi keunikan masing-masing perusahaan. Misalnya lebih cepat, atau lebih baik, atau lebih lengkap, dan lain-lain, tidak harus menjadi murah saja.
Selayaknya, Para driver atau mitra pada layanan pesan antar ini mendapatkan upah sepadan dengan perjuangan mereka. Perlunya regulasi yang mengatur batasan batasan upah yang kayak mereka peroleh.
Bagaimana pendapatmu?
Tambahkan Komentar