
Sudah menjadi keharusan, kampus menjadi tempat bagi tumbuh dan kesuburan nilai-nilai ideal. Sesuai dengan pilar utama kampus dan pendidikan kita, Tri Darma Perguruan Tinggi. Pilar yang menjadi landasan filosofis kehidupan kampus yakni Pendidikan, Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian pada masyarakat.
Namun, berbagai kasus yang terjadi beberapa tahun terakhir, rasanya ‘jauh panggang dari api’. Ketika pilar-pilar ideal kampus dan perguruan tinggi justru hampir roboh oleh rayap pengerat yang menghabisi satu persatu pilar-pilar dan nilai ideal dalam kehidupan rumah peradaban yang bernama Universitas.
Tahun 2019, kita membaca kehebohan kasus dugaan pencabulan seorang dosen sebuah Universitas di Lampung kepada seorang mahasiswi. Kejadian tersebut, sungguh telah mencoreng nilai-nilai suci moralitas pendidikan dan pengajaran. Sesuatu yang menjadi pilar utama dari kehidupan kampus.
Begitu pula kabar yang terbaru, ketika dua orang dosen di salah satu kampus swasta besar di kota Makassar justru terlibat keributan dan berujung adu mulut sampai sentuhan fisik. Parahnya, keributan tersebut terjadi di hadapan para mahasiswa dan kini viral menjadi tontonan publik secara luas.
Anehnya, dari berbagai informasi, peristiwa keributan tersebut bukanlah keributan intelektual, pertentangan temuan, gagasan dan pengetahuan. Namun, karena persoalan pribadi. Kejadian yang sekaligus mengkonfirmasi soal ‘kewarasan orang-orang kampus’ dalam menyelesaikan persolan yang semestinya berlangsung secara dialogis, rasional, dan jauh dari kekerasan.
Pada pilar kedua dalam Tri Darma Perguruan Tinggi, kita juga bisa membaca beberapa kasus aktual berbagai deretan persoalan plagiarism yang dilakukan oleh para dosen sampai rektor. Mereka berkhianat pada kehormatan akademik. Bukankah kampus adalah tempat mereka yang hidup bersama ilmu pengetahuan dan terbiasa dengan tradisi penelitian yang mensyaratkan kejujuran?
Lantas mengapa mesti plagiat?
Tidak cukup hanya sampai disitu, pilar kampus sebagai medan pengabdian bagi masyarakat harus benar-benar kembali kita pertanyakan. Apakah kampus kita telah memiliki peran yang besar untuk melayani kepentingan publik? Rasa-rasanya kiprah kampus dalam memberikan kontribusi menjawab berbagai persoalan publik jarang kita dengarkan.
Justru kabar yang lebih sering terdengar adalah kegemaran kampus untuk memberikan gelar-gelar kehormatan ‘doktor honoris causa’ kepada para pejabat, pimpinan partai politik, sampai para penguasa dan pengusaha.
Padahal, gelar doktor kehormatan harusnya berangkat dari kontribusi tokoh tersebut bagi keilmuan dan kepentingan masyarakat secara luas. Bukan sekadar pemberian untuk menyenangkan pejabat atau tokoh-tokoh kekuasaan yang justru semakin menghilangkan martabat dan kehormatan kampus.
Walau, harus diakui selama pandemi terdapat beberapa kampus yang mulai mendorong beberapa laboratorium dan guru besar untuk mengembangkan penemuan vaksin dan alat deteksi covid -19.
Namun, jika dihitung secara kuantitas antara jumlah kampus dan temuan yang dihasilkan, rasanya begitu sedikit karya kampus yang kita dengarkan kiprah dan kontribusinya untuk menyelesaikan persoalan publik. Padahal, hampir di semua kampus terdapat Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM). Lembaga yang seharusnya menjadi lambang dari pilar kampus dalam memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan publik secara luas.
Sepertinya kita memang harus bertanya kembali pada kampus-kampus kita, apakah pilar-pilar kehidupan kampus masih ada atau telah benar-benar roboh dan kita hanya menyaksikan kampus sebagai artefak peradaban dan pengetahuan.
43 Komentar