Judul : 21 Pelajaran untuk Abad ke-21
Penulis : Yuval Noah Harari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2023
Tebal : xiv + 333 halaman
Nampaknya kemajuan paling paripurna yang pernah dibayangkan umat manusia sebelumnya telah nyata di masa sekarang: interkoneksitas antar individu semakin intens, teknologi yang kian canggih, era digital yang membawa tantangannya sendiri, dan sebagainya. Meskipun masalah-masalah ikutannya juga semakin mengkhawatirkan: kerusakan lingkungan, wabah pandemi, krisis iklim, dan seterusnya.
Dengan begitu, manusia semakin dalam merasuk ke dalam dirinya sendiri—atau menjauh dari dirinya yang sejati. Hasil ciptaan manusia semakin hari semakin nampak otonom dan independen, seolah menjelma makhluk lain yang memiliki nyawa sendiri, kehidupan sendiri. Bagaimana semestinya kita menghadapi semua perubahan ini?
Yuval Noah Harari, intelektual publik yang sangat sohor setidaknya satu dasawarsa ini, menghamparkan kita usulan-usulan yang berangkat dari refleksi pemikiran yang jembar dan dalam atas berbagai aspek kehidupan kita: ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya. Dalam buku teranyarnya yang terbit dalam Bahasa Indonesia, “21 Pelajaran untuk Abad ke-21”, Harari piawai menjalin teori-teori serta benang merah berbagi peristiwa dalam sejarah peradaban manusia.
Tak perlu lagi kita meragukan argumentasi bernasnya, bukunya yang sedang kita bicarakan ini kian melengkapi serangkaian gagasan di dalam karya-karyanya terdahulu, “Sapiens”, dan “Homo Deus”. Mengutip bagian belakang bukunya, disebutkan bahwa dalam “Sapiens” Harari menjelajahi masa lalu peradaban umat manusia. Sementara itu, “Homo Deus” mencoba menerawang masa depan manusia, ke mana manusia ini akan menuju.
Nah, di dalam “21 Pelajaran untuk Abad ke-21” ini Harari mengajak kita untuk tidak ke mana-mana dulu, hanya di masa kini, mengeksplor segala masalah yang ada di masa kini, segala kerumitannya, segala tantangannya, dan segala kemungkinan untuk hidup yang lebih baik untuk manusia dan alam yang kita hidupi ini.
Bagaimana Harari mengudar gagasan-gagasannya dalam buku ini? Sebagai gambaran, Harari membagi bukunya ini menjadi tiga ruang utama: revolusi; tantangan; dan pertanyaan. Dalam ruang utama revolusi, Harari mengajak pembaca menelusuri dampak-dampak merusak teknologi pada pelbagi aspek kehidupan kita mulai dari masalah sehari-hari hingga ke isu besar seperti politik dan ekonomi. Dalam ruang utama tantangan, Harari menarik perhatian kita pada isu besar atau global seperti perubahan iklim, perang, hingga masalah-masalah sosial yang khas abad ini. Ruang utama ketiga yakni pertanyaan, Harari mengajak kita semua mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis terkait dunia yang kian canggih ini, era digital yang menciptakan dominasi algoritma dan kecerdasan buatan.
Penjelasan-penjelasan filosofis Harari akan membuat pembaca kritis terpukau. Harari nampaknya sangat mementingkan aspek manusia dalam semua argumentasinya. Mari kita simak beberapa argumentasinya, “Algoritma jelas tidak punya kesadaran. Jadi, tidak seperti manusia, algoritma tidak menikmati apa yang dibelinya dan keputusannya tidak dibentuk oleh sensasi dan emosi.” (hlm 39). Atau argumentasi lainnya, “Homo sapiens memang tidak akan pernah merasa puas. Kebahagiaan manusia kurang bergantung pada kondisi objektif dan lebih bergantung pada harapan kita sendiri. Namun, harapan cenderung menyesuaikan diri dengan kondisi, termasuk kondisi orang lain.” (hlm 44).
Dia tidak memungkiri kemajuan teknologi, namun sejatinya bukan lantas menjauhkan manusia dari kesejatiannya sebagai manusia. Bisa dibaca dari dua kutipannya di atas, betapa Harari sangat berfokus pada manusia. Dia secara tidak langsung menginginkan manusialah yang harusnya punya kontrol.
Ada banyak lagi gagasan-gagasan filosofis Harari yang berseliweran dalam 21 bab dalam buku “21 Pelajaran untuk Abad ke-21” ini. Harari yang dikenal sebagai intelektual paket komplit ini—dikenal sebagai filsuf dan sejarawan—dan itulah yang membuat karya-karyanya mampu menarik hati lebih orang di seluruh dunia.
Umat manusia memang sedang berada dalam masa penuh tantangan—berhadapan dengan algoritma dan mahadata, dengan wabah pandemi, krisis iklim, dan sebagainya—namun Harari menawarkan kita gagasan-gagasan filosofis dan optimistik, tapi tetap berpijak pada kenyataan objektif yang tentu saja berat ini.
Tambahkan Komentar