Setiap terjadi aksi bom bunuh diri, saya selalu diingatkan sebuah tulisan ayah saya pada sekitar dua puluh tahun lalu. Sebuah tulisan sederhana namun dengan pesan yang mandalam. Pesan yang sampai sekarang masih terekam dengan baik di kepala saya sampai kini, yakni “kehadiran manusia tanpa peran”.
Kala itu, ayah saya bercerita bahwa secara esensial manusia senantiasa membutuhkan peran dalam hidup ini. Karena pada dasarnya, motivasi terbesar setiap orang adalah ‘kehadiran dan peran’. Tanpa peran eksistensi manusia akan kehilangan makna dan tujuan yang membuat individu kehilangan arti kehadiran mereka di muka bumi.
Jika digeledah dari berbagai catatan rekaman menyangkut motivasi para pelaku bom bunuh diri selama ini, utamanya bagi mereka yang tergabung dalam jaringan kelompok idologi jihadis garis keras, senantiasa punya satu pesan tunggal di balik aksi teror yang mereka lakukan, yakni ‘peran ingin menjadi pengantin surga’.
Mereka percaya dengan melakukan aksi teror bom bunuh diri dan membunuh orang lain, serta jalan kekerasan atas mereka yang berbeda keyakinan agama, ideologi, maka mereka telah menjalankan peran sebagai seorang syuhada yang punya arti menjadi bagian dari laskar-laskar pembela Tuhan yang layak mendapatkan ganjaran syurga.
Pertanyaan yang layak kita ajukan, apakah yang melatarbelakangi sehingga para pelaku percaya dan yakin akan peran mereka sebagai pengantin surga lewat aksi dan teror bom bunuh diri yang mereka lakukan? Tentu akan banyak sudut pandang di balik latar para pelaku bom bunuh diri layaknya yang terjadi di Gereja Katedral Makassar.
Bisa jadi doktrin ideologi yang berurat akar yang ditanamkan melalui metode brainwashing atau cuci otak, bahwa untuk menegakkan keyakinan dibutuhkan martir yang siap berkorban agar cita-cita dan misi suci yang diyakini dengan jalan ideologi perang dan kekerasan untuk menegakkan yang hak dan menyingkirkan kebatilan bisa tegak berdiri.
Tidak menutup kemungkinan pula, faktor ekonomi, keadilan sosial menjadi latar mereka pelaku teror untuk melakukan kekerasan. Karena mereka mengalami secara langsung realitas, ketidakadilan yang terjadi di dalam kehidupan keseharian. Ketidakadilan yang membentuk keyakinan bahwa untuk melawan kezaliman perlu melakukan tindakan di luar kelaziman seperti melakukan teror bom bunuh diri.
Bisa pula, alasan lingkungan sosial yakni perasaan kegagalan akan peran dan eksistensi mereka dalam kehidupan keseharian, perasaan dikucilkan dan terbuang dari kelompok dan lingkungan perkawanan sosial adalah alasan utama untuk melakukan penolakan dan seolah-olah memiliki legalisasi untuk menjalankan tindakan kekerasan atas lingkungan yang selama ini menolak diri mereka.
Berbagai alasan tersebut, saya percayai sebenarnya bermuara layaknya pesan ayah saya di masa lalu, yakni “kehadiran manusia tanpa peran”. Ketika ada sekelompok orang yang kecewa, frustasi akan eksistensi kedirian mereka di muka bumi, lalu mencari jalan instan menuju surga lewat aksi teror bom bunuh diri.
Karena lewat aksi bom bunuh diri mereka akhirnya dihormati peran, kehadiran dan eksistensi diri dan kelompoknya, lalu dikenang sebagai syuhada yang memperjuangkan kebenaran versi ideologi mereka sendiri. Serta tentu saja, lewat aksi teror bom bunuh diri merupakan jalan tol menuju surga melepaskan dunia yang penuh ketidakadilan sesuai doktrin yang selama ini tertanam dalam pikiran mereka pelaku teror.
Pada akhirnya, kita kembali diingatkan layaknya lirik Band Godbless bahwa ” Dunia ini penuh peranan. Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak, Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang”. Lalu saya terkenang pesan guru saya yang selalu beliau ulang, “bersyukurlah kita tidak diberikan peran sebagai algojo-algojo layaknya para teroris yang mencari surga dengan membunuh orang lain”
Tambahkan Komentar