RT - readtimes.id

“Teh dan Pengkhianat”: Kacamata Alternatif Melihat Sejarah Kolonialisme di Indonesia

Judul : Teh dan Pengkhianat

Penulis : Iksaka Banu

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun Terbit : April, 2019

Tebal : xii+164 hlm

Ini Agustus. Bulan kemerdekaan kita sebagai bangsa Indonesia. Ini momen yang tepat untuk merenung arti kemerdekaan kita, atau mengulik kembali rekaman masa lalu bangsa kita di bawah kolonialisme Belanda. Namun, seandainya pun kita bosan dan ‘trauma’ pada media pembelajaran sejarah yang berkutat pada perang belaka dan hafalan titimangsa tanggal dan tahun penting, tenang: saya sarankan kepada kalian membaca buku kumpulan cerpen “Teh dan Pengkhianat” yang renyah dan menyehatkan untuk pemahaman kita pada sejarah kita sendiri.

“Teh dan Pengkhianat” ditulis oleh sastrawan Iksaka Banu, yang fokus pada penulisan fiksi sejarah. Ada 13 cerpen yang seluruhnya mengulik peristiwa sejarah pada masa colonial: mulai dari peristiwa masa awal VOC mencari rempah-rempah, masuknya modernisasi, pemberontakan petani, gejolak era revolusi, sampai pada masa kembalinya orang Belanda ke negeri asalnya di Eropa.

Yang istimewa sekaligus unik dalam keseluruhan cerita dalam buku cerpen ini adalah sudut pandang yang menggunakan mulut dan kacamata orang Belanda sendiri, alih-alih pakai sudut pandang pibumi. Sehingga kita diberikan warna dan nuansa cara menilai yang berbeda dalam melihat peristiwa sejarah. Barangkali sebab inilah yang menjadi salah satu pertimbangan buku “Teh dan Pengkhianat” menerima kategori pemenang Kusalah Sastra Khatulistiwa 2019. Kumpulan cerpennya sebelumnya berjudul “Semua Untuk Hindia” juga menerima kategori yang sama pada tahun 2014.

Dibandingkan kumpulan cerpennya sebelumnya (Semua Untuk Hindia) yang melulu tentang peperangan yang beradah-darah, “Teh dan Pengkhianat” mengambil tema yang sungguh beragam: ada kisah tentang sepeda dan model berpakaian (lifestyle) yang bersinggungan dengan usaha orang Belanda mempertahankan identitas kelas dan bangsanya (Di Atas Kereta Angin); ada cerita tentang perempuan Belanda yang mengagumi pemikiran seorang wanita pribumi yang menjalankan media bernama Soenting Melajoe (Belenggu Emas); ada tentang pemikiran agama yang kaku yang berhadapan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian maju (Tegak Dunia); sampai tentang kisah solidaritas dan pemogokan buruh pelabuhan Australia yang menolak memberangkatkan kapal berisi tentara Belanda menuju Nusantara sebagai upaya mendukung Kemerdekaan Indonesia (Indonesia Memanggil).

Dan sisa cerpen lainnnya mengambil tema yang beragam yang menyediakan ruang refleksi sekaligus menghibur buat kita untuk memahami kompleksitas berjalannya proses penjajahan di Nusantara—bukan hitam putih dengan hanya memandang konflik Belanda-Pribumi belaka dan mencitrakan dengan kasar bahwa semua orang Belanda jahat dan pribumi seluruhnya baik. Cerpen pembuka berjudul “Kalabaka” menjadi kisah yang menohok kesadaran kemanusiaan kita. Ini tentang seorang juru tulis VOC yang akan dihukum mati karena menolak kekejaman perusahaan tempatnya bekerja. Beberapa cerita yang lain lagi memberikan informasi detail kepada kita betapa modernisme berdampak pada guncangnya posisi kelas yang berusaha diatur dan ditertibkan oleh pemerintah kolonial. Jadi masuknya teknologi seperti sepeda, auoto (mobil), media pers, bukan perkara sederhana, namun sekaligus menjadi benih tumbuhnya mental berbeda pada kelas pribumi.

Tapi kenyataan bahwa masyarakat pribumi tertindas di bawah sistem colonial tetap dihadirkan. Kita akan menemukan betapa mirisnya kondisi petani pribumi yang bekerja di perkebunan tebu, dan betapa kelas elit lokal bertindak licik tidak bersimpati kepada pribumi sebagai bangsa sendiri. Di sini kita akan melihat pembakaran ladang tebu sebagai aksi protes petani. Pemberontakan buruh China juga dikisahkan dengan menyedihkan. Bahkan, buat kalian yang ingin tahu bagaimana penanganan wabah di masa lalu, bisa membaca “Variola”. Barangkali ini bisa menjadi perbandingan kita dengan model penanganan Covid-19 sekarang ini.

Dan semua itu, kita ulangi lagi di sini, dikisahkan bukan dari sudut pandang pribumi, tapi sudut pandang orang Belanda. Menarik, bukan?

Saya pribadi menyukai semua cerpen di dalam “teh dan Pengkhianat” ini. Ada bebeberapa detail dan fakta sejarah yang renik yang membuat saya mencatatnya karena menarik. Ini menunjukkan betapa si penulis, Iksaka Banu, serius melakukan riset untuk bukunya ini. Semua cerpen di dalam buku ini membuat saya merenung dan sedih. Semuanya mampu menarik perhatian dan emosi saya.

Saya rasa, buku ini tepat dibaca untuk mereka yang ingin belajar sejarah sekaligus mencintai dunia cerita. “Teh dan Pengkhianat” adalah alternatif buku fiksi sejarah yang menyenangkan, informatif, sekaligus menghibur.

Dedy Ahmad Hermansyah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: