Judul : Teori Pernikahan Bahagia
Penulis : Aliurridha
Penerbit : Falcon
Tahun : Juni 2024
Tebal : 228 halaman
Apa standar kebahagiaan sebuah pernikahan? Adakah teori atau rumus tertentu agar kehidupan pernikahan seseorang menjadi bahagia? Atau apa sesungguhnya kebahagiaan itu—kesenangan tanpa penderitaan sama sekali?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dieksplorasi dalam novel relatif ringkas, “Teori Pernikahan Bahagia”, ditulis oleh Aliurridha, sastrawan muda asal Nusa Tenggara Barat (NTB). Menariknya lagi, eksplorasi semua pertanyaan tersebut dikemas dalam konteks dua budaya dan bangsa berbeda: keturunan Arab dan masyarakat lokal NTB. Barangkali kemasan inilah yang membuat novel ini tidak terjebak menjadi kisah asmara dan konflik keluarga picisan, drama yang menjurus kepada klise.
“Teori Pernikahan Bahagia” mengambil genre realisme, dengan alur yang sangat mudah diikuti. Dikisahkan dengan sudut pandang orang ketiga, novel ini mengalir lewat narasi lembut dan kerap terkesan liris dan puitik. Teknik masalah yang digantung pada nyaris semua bagian—seluruhnya ada empat belas bagian—membuat novel ini menggoda pembaca untuk segera membalik halaman demi halaman untuk mencari tahu gerangan apa yang akan terjadi pada tokoh-tokohnya.
Secara umum, tema besar “Teori Pernikahan Bahagian” ini yakni drama keluarga. Secara khusus, berkisar pada konflik keluarga dalam kemasan perbedaan bangsa dan budaya. Latar tempat yakni kisaran daerah NTB, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Latar waktu tergolong kontemporer, yakni tahun 2000an.
Konflik keluarga dalam kemasan perbedaan bangsa dan budaya ini adalah aspek yang kental dan kaya didedahkan oleh penulis novel ini. Tapi, sebelum dijelaskan lebih jauh, apa sesungguhnya sinopsis “Teori Pernikahan Bahagia” ini?
Bagian pertama novel ini, “Ijab dan Kabul”, dibuka dengan kekalutan seorang tokoh bernama Hermawan, yang sedang berada dalam suasana pernikahan anak perempuannya, Raina. Hermawan kalut lantaran dia merasa pernikahan anaknya ini tak akan berujung bahagia. Apa pasal? Karena Hermawan teguh pada satu keyakinan atau teori bahwa kebahagian sebuah pernikahan sangat ditentukan pada sesuai atau tidaknya latar belakang keluarga masing-masing pasangan.
Teori Hermawan itu berbunyi seperti ini: seseorang yang berasal dari keluarga bahagia lalu menikah dengan seseorang dari keluarga tidak bahagia cenderung mengalami kegagalan dalam rumah tangga. Sebab itulah saat anaknya si Raina menikah dengan Zefki, laki-laki keturunan Arab yang kehidupannya bahagia, Hermawan gusar karena merasa teorinya akan diuji. Bagaimana tidak, Raina berasal dari keluarga yang selalu dirundung duka lara, alias keluarga tidak bahagia. Hermawan lantas akan mengisahkan hidupnya yang bergelimang duka sejak ditinggalkan istri pertamanya. Perjalanan hidupnya senantiasa dipenuhi konflik dan masalah.
Lalu cerita akan lebih banyak berkisar pada kehidupan rumah tangga Raina dan Zefki. Karakter pribadi dan keluarga dua tokoh ini diudar dengan porsi yang relatif seimbang, yang membuat pondasi cerita menjadi kuat, dan konflik serta drama keluarga pasangan ini menjadi demikian menegangkan. Apalagi, telah disinggung sebelumnya, ada dua latar ras dan budaya berbeda antara Raina dan Zefki. Raina berasal dari keluarga yang hidup turun temurun dalam masyarakat lokal, sementara Zefki berdarah Arab yang keluarganya masih memandang teguh budayanya.
Eksplorasi budaya Arab dalam konteks lokal ini menjadi menarik, khususnya bagi pembaca dengan latar lokal NTB. Rasa-rasanya sangat jarang—untuk tidak mengatakan tidak ada—fiksi yang berlatar budaya Arab pada konteks lokal pulau bagian timur Indonesia ini. Aliurridha, si penulis novel, tidak sekadar ‘menjual’ isu yang jarang diulik ini. Tapi detail jaringan ‘feodalis’ masyarakat Arab dalam merawat kepentingan mereka dihamparkan olehnya. Kita akan segera tahu bahwa Aliurridha sendiri sebetulnya berasal dari kalangan Arab yang menghidupi suasana dan nuansa kehidupan orang Arab.
Ayah Zefki yakni Zainal adalah laki-laki keras hati dan berupaya menjaga kemurnian darah Arab dalam keluarganya. Kita bisa menduga karakter seperti ini akan menjadi alasan Zainal tidak menyetujui pernikahan anaknya, Zefki. Baginya, Zefki harus menikah dengan syarifah, sebutan perempuan keturunan Nabi Muhammad. Istri Zainal, Zahiya, nampaknya ‘tunduk’ pada aturan ‘feodalis’ suaminya atau memegang teguh nilai kearabannya. Jadi apapun Keputusan suaminya selalu diamini olehnya.
Tapi sayangnya, Zefki justru melanggar aturan Abi dan Umminya. Dia meninggalkan rumah dan menikah dengan Raina, anak perempuan Hermawan. Keputusan inilah, lengkap dengan kerasnya hati keluarga Zainal dan keteguhan Hermawan pada kebenaran teorinya tentang pernikahan, yang kemudian membawa pembaca pada masalah demi masalah dan konflik demi konflik tokoh pasangan Zefki dan Raina.
Ada drama, ada pertengkaran, ada perpisahan, ada kisah masa lalu yang pilu dan penuh trauma, serta ada perselingkuhan. Nampaknya “Teori Pernikahan Bahagia” adalah jenis novel yang sesak oleh peristiwa dan konflik.
Tuntas membaca novel ini akan membawa pembaca pada perenungan filosofis apa sebetulnya kebahagiaan pernikahan itu. Apakah kebahagiaan pernikahan terletak pada ketiadaan kesengsaraan sama sekali? Atau kebahagiaan pernikahan itu secara ideal tidak pernah ada—yang ada hanyalah perjuangan menghadapi masalah dan konflik serta mencari makna di dalamnya?
Silakan cari sendiri jawabannya dalam “Teori Pernikahan Bahagia” ini.
Tambahkan Komentar