RT - readtimes.id

Ujian Pemimpin di Krisis Pandemi Covid-19

Oleh : Rahmad M. Arsyad

Jika ingin melihat karakter dan kemampuan sesungguhnya dari seorang pemimpin, lihatlah cara, tindakan, dan sikap mereka dalam menghadapi situasi krisis. Semuanya akan nampak jelas karena krisis akibat pandemi Covid-19  yang kini kita hadapi, bukan hanya berisi angka-angka statistik tentang jumlah kasus positif, meninggal dunia dan sembuh, namun lebih jauh berisi tentang langkah apa yang telah dilakukan para pemimpin baik dalam skala lokal dan nasional dalam bertindak dan merespon situasi darurat di masa krisis pandemi yang terjadi.

Seorang bupati langsung memberhentikan anggota satuan pamong praja yang videonya viral karena melakukan kekerasan kepada seorang perempuan ketika melakukan penertiban. Ada juga cerita gubernur yang marah-marah di sebuah gedung perkantoran karena tidak menerapkan Work From Home (WFH) pada saat penerapan PPKM darurat. 

Begitu juga cerita seorang bupati dari pulau kalimantan, merajuk hanya karena kebijakan penanganan Covid-19 yang dilakukan justru dipersoalkan oleh para penegak hukum. Sementara itu, ada pula walikota yang punya ide melakukan inovasi penanganan covid-19 dengan menurunkan ribuan orang untuk melakukan testing kepada warga yang justru mendapatkan reaksi protes, karena dipandang  akan menjadi penyebab baru kerumunan dan penularan covid menjadi meluas.

Sementara itu, Presiden turun ke lapangan membagikan sembako dan mengecek obat anti virus dan vitamin di apotek. Tapi di tempat berbeda,  ratusan bupati dan walikota serta puluhan gubernur provinsi tidak kita ketahui sedang bekerja dan melakukan apa dalam mengatasi situasi akibat lonjakan kasus yang membuat berbagai rumah sakit kewalahan dalam menampung pasien dan krisis oksigen yang mulai mengkhawatirkan.

Situasi yang membuat Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian mengaku melakukan teguran tertulis kepada 19 kepala daerah lantaran catatan serapan anggaran mereka dinilai buruk selama penanganan pandemi Covid-19. Bahkan pada beberapa daerah ada yang baru merealisasikan anggaran penanganan Covid baru  sebesar 5,4 % di tengah ambruknya banyak rumah sakit dan tenaga kesehatan kita yang semakin diperparah dengan belum terbayarkannya insentif tenaga kesehatan.

Inilah potret faktual hari-hari ini yang kita baca dan tonton dari sejumlah media dan media sosial, tentang bagaimana para pemimpin melakukan respon dalam masa krisis. Ada yang sekedar marah-marah, kehilangan fokus dalam mengatasi persoalan, merajuk, bertindak tidak terukur dan lebih banyak yang diam seribu bahasa dan entah melakukan apa.

Padahal situasi darurat yang ditimbulkan akibat pandemi yang lebih dari setahun ini, telah menunjukkan keadaan yang sedang tidak biasa-biasa saja. Keadaan yang membutuhkan kehadiran kepemimpinan yang nyata, kuat, dan berani mengambil keputusan di tengah berbagai ancaman krisis kamusiaan yang mengancam kehidupan kita semua.

Gemma D’Auria dan Aaron De Smet (2020)  dari McKinsey & Company sebuah biro konsultasi manajemen global asal Amerika yang berfokus memberikan saran mengenai manajemen strategis ke perusahaan, pemerintah, dan organisasi publik menerbitkan sebuah tulisan yang berjudul ‘leadership in a crisis responding to the coronavirus outbreak’.

Menurut saran kedua konsultan manajemen strategis tersebut, bagian karakter penting yang harus dimiliki oleh para pemimpin dalam situasi krisis yakni ‘deliberate calm’ dan ‘bounded optimism’.  “Deliberate Calm”, berarti kemampuan untuk melepaskan diri dari situasi cemas dan berpikir jernih tentang cara mengendalikan situasi. Ketenangan yang penuh perhitungan ini sering ditemukan pada individu berpengalaman yang rendah hati namun bukan berarti tidak berdaya. 

Sementara itu, karakter kepemimpinan yang juga  penting lainnya adalah sikap optimisme yang realistis atau “Bounded optimism” yang merupakan sikap percaya diri yang didasarkan oleh realita. Kedua sikap ini nampaknya sederhana, namun hari-hari ini jarang kita lihat dari para pemimpin pemerintahan kita terutama mereka yang menjadi pemimpin di banyak daerah.

Banyak pemimpin daerah yang justru kehilangan fokus dari persoalan yang dihadapi, misalnya saja justru berfokus persoalan Satpol PP dan bukan berfokus pada upaya penanganan covid itu sendiri. Kita juga masih jarang mendengar solusi praktis dan inovasi yang dilakukan dalam menghadapi pandemi dengan berbagai karakter persoalan di setiap wilayah yang mampu menebar optimisme namun dilakukan dengan tindakan yang terukur.

Padahal sebagai sebuah negara bangsa dengan ratusan pulau dan karakter, harusnya penanganan pandemi ini bisa dilaksanakan dengan menyesuaikan kondisi yang mampu beradaptasi pada situasi lokalitas masyarakat itu sendiri. Tentu, tanpa meninggalkan hal-hal pokok dari protokol Covid itu sendiri.

Hal yang paling parah, yakni para pemimpin yang justru tidak melakukan apa-apa selain menanti keputusan yang bersifat top-down dari pusat. Lalu menyalahkan kebijakan pusat jika penerapannya tidak berjalan maksimal di daerah atau justru melempar bola api kepada rakyat yang dipandang tidak patuh dalam mengikuti upaya protokol kesehatan. 

Sementara mereka sendiri tidak berani mengambil kebijakan apa-apa, membiarkan anggaran yang diberikan oleh negara dan daerah justru mengendap, sementara rakyat dan tenaga kesehatan terus berjatuhan hanya karena ketidakberanian pemimpin dalam mengambil keputusan, ketiadaan inovasi, atau ketidaktahuan dalam menangani persoalan yang justru membuat masyarakat hidup dalam situasi ketidakpastian.

Padahal, bukankah pemimpin dipilih untuk mengambil kebijakan dan menunjukan solusi dan  jalan keluar bagi persoalan orang banyak? Karena itulah mereka dipilih menjadi pemimpin!

Rahmad M. Arsyad

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: