
Readtimes.id– Kelayakan upah berpengaruh pada produk jurnalistik yang dihasilkan oleh para insan pers. Hal ini berpengaruh pada Independensi mereka di lapangan.
Pers sebagai salah satu pilar demokrasi nyatanya tidak membuat semua para pelakunya mendapatkan upah yang sepadan dengan risiko dan tanggung jawab yang diembannya, khususnya para jurnalis media daring.
Pada media daring, ada berbagai skema yang digunakan dalam menetapkan upah jurnalis. Ada yang menggunakan gaji pokok ditambah dengan bonus dan ada pula yang menggunakan skema upah berdasarkan performa.
Hal ini disebabkan oleh ketiadaan regulasi yang mengatur tentang upah pers secara spesifik. Sehingga, standar upah pers yang ditetapkan hanya mengacu kepada upah minimum kota (UMK).
Standar upah tersebut pun masih banyak yang tidak mampu dipenuhi perusahaan pers kepada para jurnalisnya, terutama media-media daring.
Hal ini diungkap ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar Didit Hariyadi. Ia menyebut media daring di Kota Makassar bahkan tak ada yang memberi upah lebih dari Rp2 juta.
“AJI melihat gaji seperti ini tidak masuk akal. Media online terkhusus di Makassar tidak ada (yang memberi upah) di atas Rp2 juta,” ujar Didit Hariyadi saat dihubungi oleh Readtimes.id, Selasa 7 Februari 2023.
Didit menambahkan, bila mengikut aturan Kementerian Ketenagakerjaan, seharusnya pekerja pers di Makassar mendapat upah minimal sesuai dengan UMK sebagai acuan.
“Kita mengikut pada peraturan Kementerian Ketenagakerjaan, jadi mengikut pada UMK saja. Makassar kan UMK-nya Rp3,3 juta, berarti gaji yang layak sekitar Rp3,5 juta,” lanjut Didit.
Rendahnya upah ini pada akhirnya membuat pers terpaksa mencari pekerjaan alternatif untuk mendapatkan tambahan penghasilan demi menghidupi diri dan keluarga. Hal ini pada akhirnya juga berdampak terhadap independensi seorang jurnalis.
“Pasti berpengaruh, tidak mungkin tidak. Hal ini menyebabkan kualitas karya jurnalistik bisa dipertanyakan,” lanjut Didit.
Padahal, di dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 disebutkan bahwa perusahaan pers diharuskan memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers.
Sayangnya, ketiadaan regulasi yang mengatur tentang upah pers di media daring pada akhirnya membuat pekerja pers harus gigit jari dan terpaksa menyerahkan ketetapan mengenai upah kepada perusahaan tempatnya bernaung.