READTIMES.ID – Sepanjang tahun 2020 merupakan peristiwa yang amat mencengangkan bagi masyarakat global. konstruksi berpikir kita masih diselimuti kabut ketakutan. Satu-satunya penyebab tidak lain adalah virus korona. Per hari ini (25/12) tercatat 700.097 orang dinyatakan positif tertular virus korona di Indonesia.
Selain tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan melawan Covid-19, berdiri pula sederet nama para pemimpin daerah yang mengeluarkan kebijakan dalam penanganan merebaknya virus berbahaya ini.
Jelang penghujung tahun, kabar duka menyelimuti ketakutan warga di masing-masing daerah akibat tertularnya orang nomor satu di daerahnya, antara lain: Bupati Morowali Utara, Wali Kota Tanjungpinang, Wali Kota Banjarbaru, Wakil Bupati Way Kanan, Plt Bupati Sidoarjo, Bupati Berau, Bupati Bangka Tengah, Bupati Situbondo, Bupati Bulungan, Bupati Barru, dan Bupati Luwu Timur.
Tercatat, sebelas kepala daerah meninggal dunia akibat terpapar Covid-19.
Peristiwa nahas yang menimpa beberapa daerah ini telah menyita banyak pasang mata di dunia maya. Salah satunya adalah dokter Nurholis Majid.
Nurholis menjelaskan, mengenai penyebab tertularnya Covid-19, secara umum sudah pasti karena adanya kontak erat dengan penderita positif Covid-19 baik yang bergejala maupun mereka yang tanpa gejala. Mencermati fenomena dari kalangan kepala daerah, bisa terjadi karena beberapa penyebab:
Pertama, boleh jadi sumber penularannya ada di sekeliling keluarga: istri/suami, anak, atau pun kerabat lain yang memiliki riwayat perjalanan dan/atau pertemuan dengan orang-orang—yang tanpa sadar diketahui sudah terpapar Covid-19.
Kemungkinan yang kedua, karena faktor pekerjaan. Seperti perjalanan dinas, pertemuan dinas, atau pun jenis rapat kerja yang lain, dan kegiatan yang sifatnya justru mengundang keramaian.
Dia juga menyayangkan kegiatan dinas pejabat daerah yang tetap berlangsung, sekalipun selalu mengusung tema “protokol kesehatan”, tapi pada kenyataannya pejabat daerah tetap menimbulkan keramaian. Nurholis menganggap ini perlu ditelaah kembali agar penerapan aturan dapat berdampak positif terhadap hasil yang diharapkan, bukan sebaliknya.
“Kegiatan peresmian ikon kota, misalnya. Justru pejabat daerah yang mengadakan kegiatan yang memicu keramaian. Fakta di lapangan, tidak tertibnya pengaturan protokol kesehatan selama kegiatan, kerumunan orang tanpa batasan, masker yang tidak lagi menutup hidung dan mulut, dan kontak secara fisik juga masih ada. Itu hanya salah satu contoh kegiatan yang sudah pernah terjadi di masa pandemi”, ujarnya kepada READTIMES.ID saat dihubungi melalui pesan WhatsApp.
Nurholis kemudian menjelaskan, “Bahkan pernah saya lihat secara langsung, justru pejabat daerah menyapa masyarakat seperti biasa, lazimnya seperti bukan di masa pandemi dengan cara bersalaman. Beberapa data yang saya saksikan, tercatat beberapa pasien konfirmasi positif Covid-19 adalah ajudan Gubernur. Ini juga menjadi sumber rantai penularan di kalangan pejabat pemerintahan.”
Anggota Ikatan Dokter Indonesia Kota Palu ini menambahkan, beberapa opsi yang dapat ditawarkan untuk menekan fenomena ini, antara lain:
Pertama, aturan harus diperketat dan implementasi harus mendekati ekspektasi. Pemerintah sudah cukup lama membuat aturan untuk pencegahan, tapi realisasi di lapangan masih sangat amat longgar. Seluruh Nakes (tenaga kesehatan) menginginkan penegasan aturan di lapangan yang lebih ketat lagi dari aparatur daerah.
Untuk aturan di masyarakat pun harus merata. Jika di tempat ibadah diwajibkan mengatur jarak saat beribadah dan wajib menggunakan masker, maka seluruh tempat ibadah wajib mentaatinya, tanpa terkecuali. Dan aturan yang sama harus diterapkan pula ditempat lain seperti kafe, warung kopi, dan tempat hiburan lainnya.
Selain itu, menurut Nurholis, pemerintah perlu mengaktifkan kembali aturan yang memperbolehkan kegiatan pernikahan, namun, hanya boleh dihadiri oleh beberapa orang saja. Karena semakin banyaknya kluster pasien dari kegiatan pernikahan.
Sebaiknya jangan lagi ada kegiatan yang bertajuk “Lawan Covid-19” seperti gowes bareng, fun run, dll, tapi justru berpotensi membuat keramaian. Seyogyanya agar dihindari sampai semuanya kembali normal.
Untuk di kalangan pemerintahan, sekiranya tidak lagi mengadakan kegiatan yang sifatnya mengundang keramaian. Seperti peresmian ataupun jenis kunjungan lainnya.
Kemudian, Nurholis juga menyoroti permasalahan bantuan kepada masyarakat.
“Jika pemerintah ingin membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sembako warga, mohon jangan pernah mengadakan kegiatan terbuka seperti pasar murah, karena sudah pasti akan menimbulkan kerumunan dan kepadatan massa”, tegasnya.
“Alangkah baiknya, jika bantuan tersebut disalurkan langsung ke masing-masing rumah warga yang memang betul-betul membutuhkan melalui pendataan. Seharusnya, pejabat daerah memperketat aturan masuk perbatasan daerah masing-masing bagi pelaku perjalanan yang non-urgent. Baik yang melalui darat, laut, maupun udara”.
Selain itu, menurutnya, perlu adanya skrining di kalangan pemerintahan, mulai dari seluruh staf dan jajaran pemerintahan secara rutin setiap bulan, atau setiap 14 hari, dengan pemeriksaan rapid antigen.
“Sebaiknya pemerintah bisa mensubsidikan anggaran yang diperuntukkan skrining massal kepada masyarakat, terutama mereka yang secara ekonomi tidak mampu melakukan pemeriksaan Covid-19 secara mandiri. Karena mengingat saat ini banyak daerah sudah dalam status transmisi lokal penyebaran covid-nya, jangan lagi membikin aturan “karet” untuk pandemi ini. Covid-19 sudah banyak merenggut korban jiwa termasuk mereka para petinggi daerah”, tandasnya.
Tambahkan Komentar