RT - readtimes.id

Bencana Alam dan Pelajaran Penting dari Jepang

Readtimes.id – Hampir setiap tahun Indonesia dilanda bencana alam gempa dan tsunami. Mulai dari Aceh tahun 2004, Nias tahun 2005, Jogja tahun 2006, Padang-Bengkulu tahun 2007, Sulawesi Utara tahun 2008, Tasikmalaya tahun 2009, Mentawai tahun 2010, Palu tahun 2018.

Yang terbaru, gempa kota Mamuju dan Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, berkekuatan 5.9 SR pada Kamis (14/1) sore dan 6.2 SR pada Jum’at (15/1) dini hari. Laporan terbaru Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Majene, Jumat (15/1) pagi tadi menyebutkan jumlah korban jiwa yakni 3 orang, 24 luka-luka, dan sekitar 2 ribu lainnya dievakuasi.

Belum dihitung berapa kerugian materil. Yang pasti, Hotel De Maleo dan Kantor Gubernur Sulbar nyaris rata dengan tanah. Belum beres masalah ekonomi akibat pandemi corona, Sulbar harus berurusan lagi dengan bencana alam, yang pasti berefek ke sektor ekonomi.

Belajar dari Jepang

Jepang berada di pertemuan lempeng Samudra Pasifik dan Lempeng Laut Filipina yang aktif. Posisi itu menjadikan Jepang salah satu negara yang juga jadi langganan gempa, mirip Indonesia. Bedanya adalah bagaimana mitigasi dan seberapa cepat 2 negara ini recovery.

Salah satu yang masih terekam dalam ingatan penduduk Jepang adalah gempa berkekuatan 7.2 SR di kota Kobe, Hyogo, Pulau Honshu, pada 17 Januari 1995. Malapetaka itu menelan 6.433 nyawa. Tak kurang 104.906 bangunan dalam kota runtuh rata dengan tanah.

Tapi, Kobe bisa bangkit kembali pasca Tsunami terdahsyat sejak abad 19 itu. Bagaimana bisa?

Sofia Mahardianingtyas melaporkan analisis George Horwich, seorang peneliti Amerika Serikat, tentang bagaimana Jepang bangkit pasca bencana terbesar ketiga itu.

Pertama, Kobe membangun ulang infrastruktur utama. Terutama jaringan air bersih dan listrik. Jepang, secara khusus Kobe, butuh waktu 1 tahun untuk restorasi ini.

Kedua, restorasi infrastruktur lanjutan dan kegiatan ekonomi. Pada fase ini, pemerintah bersama masyarakat membangun kembali rumah-rumah, jalan, dan rel kereta. Pada tahun kedua, sarana transportasi sudah bisa dimanfaatkan dan kegiatan ekonomi mulai berjalan. Toko-toko kecil pun mulai menghidupkan kembali perdagangan di kota ini.

Ketiga, pemulihan kehidupan sosial. Horwich sendiri menyimpulkan bahwa sumber daya manusia (SDM) adalah faktor utama pemulihan kembali Kobe. 3 langkah pemulihan membuat Kobe hanya butuh waktu 5 tahun untuk mengembalikan kondisi normal. Masa yang cukup cepat untuk ukuran bencana sedahsyat itu. Defisit pertumbuhan ekonomi terobati. Bahkan perlahan Kobe mampu berkontribusi kembali pada PDB Jepang.

Satu hal yang menjadi poin paling penting, bahwa pasca bencana Kobe, Jepang menyadari wilayahnya berada pada koordinat rawan bencana. Olehnya itu perlu rencana jangka panjang untuk memitigasi dan menyiapkan diri sebelum bencana terjadi lagi. Setidaknya mengurangi dampaknya terutama korban jiwa.

Betapa mirisnya di Indonesia, tsunami Palu dan Donggala tahun 2018 silam malah gagal terdeteksi sebelumnya karena alat pendeteksi tsunami (buoy) yang dimiliki malah dicuri. Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho bahkan mengatakan Indonesia sudah tidak punya alat itu lagi sejak 2012. Padahal tsunami Palu bukan yang pertama di Indonesia.

“Jadi enggak ada buoy tsunami di Indonesia, Sejak 2012 buoy Tsunami sudah tidak ada yang beroperasi sampai sekarang ya tidak ada,” kata Sutopo di kantor BNPB, kala itu.

Ona Mariani

1 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: