Judul : Sacred Nature, Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit : mizan
Tahun : 2022
Tebal : 176 halaman
Dalam buku teranyarnya, “Sacred Nature, Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam”, Karen Armstrong—penulis buku-buku agama legendaris—membuka bukunya dengan satu pengamatan saat berkunjung ke British Museum. Secara tidak langsung dia menyatakan keheranannya pada pengunjung museum yang tidak henti-henti memotret dengan kamera ponsel mereka benda-benda yang ada di dalam museum.
Mari kita kutip versi sedikit lebih panjangnya, untuk menangkap lebih utuh apa yang ingin ia sampaikan:
“…mereka tampaknya tidak sekadar ingin berjumpa dengan batu Rosetta, misalnya, tapi berusaha untuk memilikinya dengan cara tertentu, seolah-olah hal itu tidak menjadi nyata sampai mereka memiliki salinan virtualnya. Tidakkah perubahan yang saya lihat selama enam puluh tahun dalam tindakan sekecil itu mencerminkan perubahan hubungan kita dengan alam? Kita berjalan di tempat yang sangat indah sambil bercakap-cakap di ponsel atau scrolling media sosial: kita hadir, tapi pada dasarnya juga absen. Alih-alih duduk merenung di tepi sungai atau memandang dengan kagum bentangan alam pegunungan, kita terobsesi untuk mengambil foto pemandangan demi pemandangan. Bukannya membiarkan pemandangan itu menemukan tempat yang intim di dalam pikiran dan hati kita, kita menjarakkan diri kita darinya. Alam menjadi realitas yang disimulasikan.”
Apa yang didedahkan oleh Karen Armstrong di atas telah menjadi kelaziman dunia saat ini. Tapi oleh Karen Armstrong aktivitas tersebut justru dipandang mencerminkan betapa berjaraknya kita dengan alam saat ini. Mengapa ini patut diutarakan? Karena terkesan paradoks jika saat ini kita berusaha menyelamatkan alam, namun di saat yang sama kita justru berjarak dengan sesuatu yang ingin kita selamatkan.
Sakral. Ya, ini kata kunci buku ini, kata kunci yang barangkali tak lagi punya getar bagi masyarakat modern saat ini. Masyarakat modern yang dituntut berkesadaran secara rasional, analitik, dan saintifik. Masyarakat modern yang didorong untuk menjangkau logos dan menjauhi mitos. Masyarakat modern yang sebagian masih merasa sebagai ‘khilafah’ di muka bumi dan merasa perlu menjadikan dunia ini tempat yang aman dan nyaman untuk ditinggali.
Melalui “Sacred Nature, Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam”, Karen Armstrong yang merupakan mantan biarawati dan penulis buku Sejarah Tuhan” itu menjejaki kembali cara pandang agama-agama terdahulu atau pemikiran-pemikiran religius yang berkaitan dengan (perlindungan) alam. Dan satu kata yang mengikat seluruh keyakinan yang dikisahkan: KESAKRALAN.
Ya, makhluk-makhluk beragama terdahulu tidak memisahkan keyakinan mereka dengan apa yang ada di alam. Alam dilihat sebagai sesuatu yang ‘hidup’, punya jiwa dan kehendak sendiri. Konfusianisme, Taoisme, Hindu, Budha, Islam, dan berbagai macam kepercayaan memiliki tradisi yang tidak memisahkan antara keyakinan mereka dengan alam.
Dan model atau praktik berkeyakinan serupa ini dicemooh oleh masyarakat modern sebagai penyembahan pada mitos yang tidak masuk akal. Barat menjadi tertuduh atas peran menceraikan yang mitos dan logos, yang ritual dan yang rasional, yang bagi Karen Armstrong justru menjadi salah satu faktor kunci mengapa kita kian berjarak dengan alam—yang pada akhirnya berdampak pada eksploitasi alam secara brutal.
“Meski kita perlu mengurangi emisi karbon dan memperhatikan peringatan-peringatan dari para ilmuwan, kita perlu belajar untuk tidak hanya bertindak secara berbeda, tetapi juga berpikir secara berbeda tentang alam,” tegas Karen Armstrong pada salah satu bagian dalam buku ini. Berpikir berbeda, bagi Armstrong, akan menuntun kita mengambil tindakan ataupun kebijakan yang lebih efektif terhadap kerusakan alam saat ini.
Sebab itulah, penting bagi Armstrong mengulik sejarah agama di masa lalu dalam peranan mereka menjaga alam. Penting pula baginya mendudukkan kembali definisi mitos dan logos dengan berbagai peristiwa penting dalam masyarakat tradisional tempo dulu. Menurut Armstrong, apa yang disebut sebagai mitos yang disematkan oleh orang modern pada masyarakat tradisional yang biasa melakukan ritual-ritual mistis sesungguhnya berbeda dengan dipahami oleh masyarakat itu sendiri.
Kata Amstrong, masyarakat modern sering bias dalam memandang praktik-praktik ritual keagamaan yang dianggap bersandar pada mitos atau sesuatu yang fiktif. Padahal, mitos itu tindakan atau upaya mencari makna. “Kita harus membebaskan diri dari kekeliruan bahwa mitos tidak benar atau merupakan cara berpikir yang inderior,” tegas Armstrong. Kata Amrstrong, masyarakat modern sendiri kadang juga secara tidak sadar menciptakan mitos-mitosnya sendiri, yang kadang berujung bencana kemanusiaan seperti pembantaian massal dan genosida.
Ada banyak lagi penjelasan yang perlu kita timbang untuk memperkuat usaha kita menjaga alam dari buku “Sacred Nature” ini. Karen Armstrong memberikan sumbangsih ekologis dalam pemikiran keagamaan. Melalui buku ini Armstrong mengajak pembacanya pada kenyataan seperti relasi spiritual manusia dengan alam.
Buku ini tidak berhenti pada pembongkaran cara pandang kita saja, seperti pendefinisian kembali mitos dan logos, namun juga memberikan resolusi-resolusi dalam sembilan babnya—di luar Pendahuluan dan Epilog. Resolusi-resolusi tersebut tidak disebarkan atau membiarkan pembaca mencarinya sendiri, namun oleh Armstrong resolusi-resolusi itu dihamparkan dalam sub bab berjudul “Jalan ke Depan”.
Tawaran Karen Armstrong untuk kita kembali melihat alam sebagai sesuatu yang sakral memang perlu dipertimbangkan. Karena dengan argumentasi dan data sejarah yang kuat dia telah menunjukkan buktinya pada kita: masyarakat agama terdahulu dengan pemikiran yang diliputi mitos itu justru berhasil melindungi alam dengan caranya sendiri.
Tentu saja Karen Armstrong tidak menafikan pentingnya berpikir rasional. Tapi, itu saja tidaklah cukup. Bahkan resolusi-resolusi rasional dalam upaya melindungi alam masihlah belum lengkap jika tidak ditopang oleh cara berpikir yang baik dan benar. “Daur ulang dan protes politik saja tidak,” kata Karen Armstrong.
Tambahkan Komentar