RT - readtimes.id

Candu Impor Kedelai dari Amerika Serikat

Readtimes.id- Beberapa hari terakhir ini, pedagang sapi di Jabodetabek kompak menggelar mogok jualan di pasar, sebab harga daging sapi impor melambung tinggi. Ketika harga naik dari negara asalnya, maka otomatis pedagang harus menaikkan harga jualnya.  

Saat ini, Indonesia tidak hanya berharap pada impor daging sapi di negara tetangga. Tapi juga impor kedelai. Ketergantungan impor daging sapi di Australia dan bergantung pada impor kedelai dari Amerika Serikat.

Kebutuhan kedelai yang meningkat setiap tahunnya makin bertambah. Sebagian besar kedelai terserap untuk kebutuhan produksi tahu dan tempe. Indonesia adalah negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah China.  

Saat ini, stok kedelai menipis sehingga mempengaruhi  kenaikan harga tempe dan tahu. Sebab Indonesia masih ketergantungan pada kedelai impor, kedelai lokal kontribusinya masih minim.

Menurut Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, petani kedelai di Indonesia tidak banyak memiliki minat besar untuk berkecimpung dalam tanaman kedelai. Penyebabnya harga kedelai yang tidak menarik bagi petani dan lebih suka menanam komoditas lain yang punya kepastian pasar.

Keuntungan Bertani kedelai  per hektar di tingkat petani masih lebih kecil dibandingkan dengan jagung ataupun padi. Akibatnya, petani memprioritaskan lahannya untuk menanam jagung dan padi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai 510,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 7,24 triliun (kurs Rp 14.200). Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari Amerika Serikat (AS).

Harga kedelai sebagai bahan baku tahu dan tempe justru mengalami kenaikan,  mengingat di tengah turunnya tingkat konsumsi masyarakat yang diakibatkan dampak pandemi Covid-19. Sehingga akan berdampak pada omzet penjualan harian yang menurun.

Setiap tahunnya, rata-rata impor kedelai Indonesia mencapai 2 juta-2,5 juta ton.  Dari total volume impor itu, sekitar 70 persen di antaranya dialokasikan untuk produksi tempe, 25 persen untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain. Sementara itu, rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2,8 juta ton per tahun.

Kenaikan harga kedelai, bahan baku utama tempe dan tahu, ini terjadi karena mayoritas komoditas ini berasal dari impor dan mengikuti perkembangan harga dunia. Harga kedelai naik sekitar 30% dari kisaran Rp 6.000-7.000-an per kilogram, menjadi Rp 8.000-9.000.

Dampak ikutannya, harga tempe dan tahu di konsumen bisa lebih mahal atau ukurannya lebih kecil. Secara ekonomi, masyarakat menggemari tempe dan tahu karena merupakan sumber protein nabati atau berasal dari tumbuh-tumbuhan yang harganya terjangkau.

Mahalnya harga kedelai terjadi karena pasokan kedelai lokal tidak bisa memenuhi kebutuhan pasar, dan hal ini telah terjadi bertahun-tahun. Indonesia pun telah mengimpor kedelai sejak izin impor dikeluarkan setelah krisis keuangan 1998 atau lebih dari 20 tahun lalu.

Tahun 1992, Indonesia  pernah mengalami swasembada kedelai. Saat itu produksi kedelai dalam negeri mencapai 1,8 juta ton. Dengan demikian, masyarakat Indonesia bisa memanfaatkan kekayaan lahan yang tersedia. Sebab Indonesia sebagai negara agraris dan kaya akan sumber daya alam. Namun, ujung tombak pertanian adalah kesejahteraan petani perlu diperhatikan.  

Meski Perum Bulog bersinergi dengan Kementrian Pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.  Menurut Perum  Bulog Ketersediaan pangan aman dan mengalami peningkatan dalam negeri.  Namun, masih ada komoditi lain yang masih mengandalkan impor dari negara lain.  

Indonesia tetap optimis agar ketahanan pangan terjaga dengan baik, apalagi ditengah pandemi sektor pertanian yang paling bisa berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi indonesia. Inovasi komoditas pangan telah digalakkan untuk mencapai diverifikasi pangan. Dengan begitu ketahanan pangan Indonesia tidak tergantung sama satu komoditas saja.

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: