Readtimes.id– ” Jangan pernah bertanya pada masyarakat yang anda dampingi mengenai apa masalah dan apa penyebab dari masalah mereka, karena itu adalah tugas anda sebagai seorang fasilitator masyarakat untuk menemukannya, ” ucap Ashar Karateng mengulas salah satu poin penting dari buku “Menyingkap Realitas Lapangan” karya Nobuaki Wada dan Toyokazu Nakata dalam sebuah acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Rumah Ide Grup.
Hal ini penting untuk diketahui oleh para pekerja pembangunan masyarakat saat terjun ke lapangan, karena pada dasarnya pertanyaan “Mengapa?” dan “Bagaimana?” adalah dua pertanyaan yang membutuhkan analisis yang mendalam dan itu tidak mungkin bisa dilakukan secara langsung oleh masyarakat sehingga membutuhkan peran seorang fasilitator.
” Dalam training kami selalu mengingatkan bahwa itu adalah dua pertanyaan bodoh dari seorang fasilitator publik. Dua pertanyaan yang hanya dapat menjebak seorang fasilitator pada sebuah persepsi bukan fakta. Dan menurut saya seorang fasilitator publik dalam menyelesaikan masalah, tidak boleh tidak bisa membedakan antara fakta lapangan dan persepsi, ” terang pria yang telah menggeluti dunia pemberdayaan masyarakat sejak tahun 90-an tersebut.
Kemampuan membedakan antara yang fakta dan persepsi ini pada dasarnya juga untuk menghindarkan para fasilitator dari sesuatu yang disebut sebagai manipulasi fasilitasi, yang seolah -olah membuka ruang fasilitasi pada masyarakat namun sejatinya tidak demikian. Ditambah ini juga bisa menjadi tolak ukur seberapa jauh sebenarnya seorang fasilitator publik mengenali akar dari sebuah permasalahan yang dihadapi oleh kelompok masyarakat yang mereka dampingi, untuk kemudian sampai pada tujuan fasilitasi yang tak lain adalah untuk mencapai sebuah perubahan perilaku dalam masyarakat.
Ketika disinggung mengenai pengaruh dari perkembangan penggunaan media dalam setiap bidang yang digeluti oleh masyarakat termasuk dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, menurut Direktur Commit Foundation ini memandang bahwa sejatinya hal itu mungkin saja terjadi sebagai sarana untuk bertukar informasi,namun jika mengacu pada teknik yang terdapat dalam buku yang telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing tersebut, sejatinya dalam proses capacity building itu menjadi hal yang sangat sulit untuk dilakukan di mana ketika kontak mata dibutuhkan untuk menyelami sebuah fakta yang ada di masyarakat.
” Bagaimana pun kontak mata itu penting dalam proses fasilitasi. Melalui kontak mata kita bisa membedakan seseorang sedang mengemukakan apa yang dia ketahui, atau sedang mengemukakan sesuatu yang menyenangkan kita, atau bahkan menjelaskan sesuatu yang berbeda dari realitas sebenarnya, itu saya pikir tidak bisa menggunakan media-media ini, melainkan perlu bertemu langsung untuk mengetahui fakta yang sesungguhnya, ” tambahnya.
Lebih jauh alumni studi ekonomi pembangunan Universitas Hasanuddin ini juga menyinggung terkait kemungkinan Lembaga Swadaya Masyarakat berkolaborasi dengan pihak pemerintah yakni melalui birokrasi yang selama ini dikenal publik sebagai dua kelompok yang selalu bertentangan di lapangan.
” itu sangat mungkin terjadi mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat hari ini sudah disebabkan oleh berbagai faktor juga melibatkan banyak aktor. Namun kembali lagi sebelum menuju ke sana kita perlu memahami dulu mekanisme kolaborasi ini seperti apa , serta apa yang perlu dikolaborasikan antara kedua pihak yang berbeda ini. Jangan sampai ndak ada yang perlu dikolaborasikan sebenarnya ? Maka dari itu menurut saya penting untuk mengetahui fasilitas dan kapasitas masing-masing lembaga, ” tuturnya pada moderator, Rahmad M Arsyad.
Menurut pihaknya pemaknaan kembali terkait kolaborasi adalah sesuatu yang tak bisa dipandang sebelah mata karena melalui hal tersebut masing-masing pihak bisa mengetahui sumbangsih serta peran seperti apa yang dapat mereka berikan sesuai kapasitas masing-masing lembaga.
1 Komentar