Hermanus petani adat Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, ditahan dengan tuduhan mencuri buah sawit. Padahal, lahan di mana sawit itu berada masih dalam sengketa. Hermanus ditangkap bersama petani lainnya, Didik Bin Asap dan James Watt yang juga aktivis lingkungan pada Februari 2020.
Bukan hanya itu saja, Sawin dan Sukma, petani asal indramayu yang menolak pembangunan PLTU di daerahnya juga dikriminalisasi karena dianggap melecehkan simbol negara (memasang bendera terbalik).
Selanjutnya Mansur Pasang alias Manre, nelayan asal Makassar yang memprotes tambang pasir di wilayah Pulau Kodingareng yang masuk dalam area tangkap nelayan, juga dikriminalisasi atas tuduhan merusak uang karena melanggar pasal 35 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang setelah merobek amplop yang diberikan oleh perusahaan.
Deretan kasus penangkapan tersebut sangat jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar yang mengatur bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pun juga beberapa aturan salah satunya adalah UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam penjelasan pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 menegaskan ketentuan ini ditujukan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Perlindungan ini maksudnya untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan perdata juga pidana dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan. Namun faktanya peraturan tersebut kurang berjalan efektif dengan masih adanya kriminalisasi pejuang lingkungan hidup.
Menilik Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP)
Jika demikian maka sudah saatnya Indonesia menilik Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Sebuah aturan yang mampu memberikan perlindungan untuk para pahlawan lingkungan dengan memberikan mereka kesempatan menggugat balik jika digugat atau dikenal dengan istilah SLAPP-back
Adapun contoh nyata peraturan ini ada di California, sebagai negara yang memiliki aturan kuat terkait anti-SLAPP yang diatur dalam California Civil Procedures Code Pasal 425.16/2019.
Di sana seseorang yang menolak gugatan SLAPP harus membuktikan kalau dia digugat berdasarkan perbuatan terkait kebebasan yang dijamin dalam Konstitusi Amerika Serikat. Konsep itu penting untuk melindungi aktivis lingkungan hidup dari ancaman kriminalisasi dengan memastikan bahwa ia digugat dengan prosedur hukum yang tepat tanpa melanggar hak-haknya sebagai warga negara.
Sebenarnya di Indonesia sendiri ada Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 36 Tahun 2013 yang mendefinisikan apa itu Anti-SLAPP sebagai mekanisme mengatasi gugatan SLAPP yang merupakan gugatan balik (gugatan rekonvensi) biasa maupun berupa pelaporan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana kepada pejuang lingkungan hidup. Kendati demikian
Keputusan Ketua Mahkamah Agung itu tidak berlaku karena masih minimnya hakim yang bersertifikat lingkungan.
Oleh karenanya kedepan penting agar pemerintah bisa menerbitkan peraturan yang memuat secara jelas dan rinci mengenai ketentuan Anti-SLAPP ini agar dapat memberikan perlindungan hukum bagi mereka pahlawan lingkungan yang tak lain juga korban terdampak dari adanya kerusakan lingkungan tersebut ketika misalnya mereka digugat.
Karena bagaimanapun sekali lagi ini menyangkut persoalan HAM sebagaimana yang telah dijamin dalam konstitusi kita, tepatnya pada pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 dan Pasal 44 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan mendorong diadakannya peraturan yang melindungi pejuang lingkungan hidup, maka negara secara tidak langsung telah berkomitmen untuk melindungi warga negaranya dan menjamin hak-hak mereka.
Penulis: Mahasiswa Hukum UNTAG Surabaya
1 Komentar