RT - readtimes.id

Aturan Pajak bagi Pelaku Online Shop

Readtimes.id– Baru-baru ini ramai diperbincangkan sebuah unggahan twitter mengenai adanya seller (penjual) di salah satu e-commerce mendapat tagihan pajak hingga Rp 35 juta dari Direktorat Jendral Pajak. Ia disebut-sebut juga belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan tidak membayar pajak selama dua tahun. Bagaimana aturan kewajiban pajak bagi pelaku usaha e-commerce?

“Yang sudah berjualan dan baru dagang online, ingat kalau ada pajak. Ternyata selama ini data transaksi seller Shopee diterima oleh kantor pajak, gatau kalo mp lain, kayaknya sih iya juga. Doi belum punya NPWP, 2 tahun ga bayar pajak kena 35 juta,” tulis akun twitter tersebut.

Selain itu, unggahan dilengkapi dengan tangkapan layar akun facebook yang menceritakan kronologi kejadian penjual tersebut  beserta surat berwarna cokelat dari Direktorat Jenderal Pajak. Ia diminta membayar pajak, dan salah satu temannya yang mengalami nasib sama dengan besar tagihan mencapai Rp 35 juta pada akun e-commerce-nya.

Menanggapi hal itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, Neilmaldrin Noor mengatakan bahwa foto surat dengan kop dari DJP itu bukanlah surat tagihan untuk membayar pajak.

“Surat yang ada di medsos itu adalah surat permintaan klarifikasi dan imbauan pelaksanaan kewajiban perpajakan, jadi sifatnya memberi hak menjelaskan kepada wajib pajak, bukan tagihan,” ujar Neilmaldrin dikutip dari Kompas.com (25/11).

Pihaknya menambahkan, DJP mengirim surat lantaran wajib pajak tersebut belum melakukan kewajiban perpajakannya, baik wajib pajak yang menjadi seller di e-commerce maupun wajib pajak lainnya.

Terkait kewajiban pajak bagi penjual di toko online atau e-commerce punya aturan tersendiri. Untuk UMKM, DJP mengenakan pajak kepada penjual baik melalui e-commerce ataupun toko retail, tarifnya 0,5 persen dari penghasilan bruto jika penghasilan brutonya belum melebihi Rp 4,8 miliar. Jika omzetnya melebihi Rp 4,8 miliar per tahun berlaku skema penghitungan secara normal melalui pembukuan atau norma penghitungan penghasilan netto.

Adapun besaran jumlah pajak yang harus dibayarkan, termasuk oleh pelaku usaha digital (e-commerce) sangat bergantung dari peredaran usaha (omzet) serta berapa lama kewajiban perpajakannya tidak dipenuhi.

Selain itu, dijelaskan juga bahwa melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu tidak dikenai PPh atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 500 juta dalam satu tahun pajak. Hal ini akan berlaku pada Tahun Pajak 2022.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research institute (TRI), Prianto Budi Saptono mengatakan, pada dasarnya sistem perpajakan di Indonesia sejak 1984 sudah menerapkan self-assessment system. Dengan kata lain, siapapun orangnya diberi kesempatan mandiri untuk mendaftarkan diri utk mendapatkan NPWP, menghitung Pajak Penghasilan (PPh), menyetor PPh, dan membuat/menyampaikan laporan PPh ke kantor pajak.
 
Ketika UU perpajakan disahkan dan diundangkan dengan cara dimuat di lembaran berita negara, DPR dan pemerintah sepakat bahwa masyarakat Indonesia sudah dianggap tahu. Jadi, tidak alasan bahwa masyarakat tidak tahu pajak. Mengapa? Karena ketentuan tentang pemuatan UU di lembaran berita negara dan selanjutnya rakyat dianggap tahu itu sdh tertuang di UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).

Baca Juga : Memahami Kebijakan II Amnesti Pajak

Mengapa Menunggu 2 Tahun?

Prianto menjelaskan kantor pajak secara rutin melakukan pengawasan berbasis dengan menggunakan CRM (Compliance Risk Management), jadi pendekatan pengawasannya menggunakan data matching, sehingga data orang pribadi ataupun badan di-crosscheck dan dibandingkan dengan informasi dari berbagai pihak.

Sesuai Pasal 35A UU KUP, informasi ke DJP bisa bersumber dari ILAP (Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak Lainnya). Ketika kantor pajak melalui Account Representative (AR) mendapati ada ketidakcocokan data, AR akan mengirimkan surat berupa Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan (SP2DK).

“Di SP2DK tersebut, memang tercantum perhitungan potensi pajak terutang. Cara ini sengaja diterapkan sebagai bentuk deterrence effect (efek kejut) bagi subjek pajak yang dituju,” jelas Prianto.
 
Ia pun mencontohkan, jika penghasilan e-commerce A telah melebihi Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) tapi masih belum ber-NPWP. Berdasarkan data ini, SP2DK terbit dan disampaikan kepada e-commerce tersebut. Isi SP2DK berupa perhitungan penghasilan bruto, penghasilan neto, hingga pajak terutang. Selanjutnya, SP2DK akan menghimbau wajib pajak untuk mendaftarkan diri agar memperoleh NPWP dan lapor SPT (Surat Pemberitahuan).
 
“Pada beberapa kasus ketika seller tersebut tidak tahu bahwa ia harus bayar pajak dan punya NPWP untuk usaha online shop, itu tidak beralasan sama sekali. Saya melihatnya bahwa seller tersebut tidak mau tahu terhadap kewajibannya sebagai warga negara yang salah satunya adalah ber-NPWP dan bayar pajak. Kewajiban pajak ini sudah ada sejak 1984 dan tetap ada hingga kini,” jelas prianto.
 
Secara prinsip, sesuai UU PPh, apapun kategori usaha orang pribadi, ketika ada penghasilan yang muncul dan diterima/diperoleh orang pribadi tersebut, PPh harus dikenakan atas penghasilan yang di atas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak). Jika sumber penghasilan dari usaha, diperbolehkan ada pengurangan (allowable deductions) yang diatur di UU PPh.
 
Jadi, ketika penghasilan orang pribadi di atas PTKP, dia harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP yang tahun depan sudah menggunakan nomor di kartu NPWP sama dengan nomor di NIK.

“Selanjutnya, orang pribadi tersebut harus menghitung penghasilan brutonya, penghasilan netonya, penghasilan kena pajak, lalu pajak terutangnya. Setelah itu, bayar pajak dan lapor pajak menjadi langkah berikutnya,” pungkasnya.

I Luh Devi Sania

456 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: