Judul : Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu
Penulis : Leo Tolstoy
Penerbit : jalasutra
Tahun terbit : 2011
Tebal : xvi + 398 halaman
Membaca karya-karya Leo Tolstoy, pengarang besar nan legendaris Rusia, adalah ibarat berhadapan dengan cermin: mengenali wajah manusia kita sendiri.
Kumpulan cerpen (kumcer) maupun novel-novelnya selalu mampu membawa kita untuk berefleksi tugas kita pada Tuhan dan sesama manusia—dua tugas yang tidak boleh terpisah dalam pandangannya. Atau dalam bahasa lain: ibadah individual dan ibadah sosial.
“Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu” adalah salah satu kumcernya yang terbaik. Cerpen-cerpen di dalamnya akan mengajak, membongkar, sekaligus mengusik rasa kemanusiaan kita.
Tolstoy, melalui gagasan moral dan filsafatnya, hendak menggugat perspektif keagamaan kita yang terkadang bercorak terlalu individualistis tapi minim aspek sosialnya. Kuat kesan bahwa Tolstoy ingin menekankan: ibadah atau kesalehan sosial adalah salah satu variable penilaian diterimanya ibadah atau kesalehan ibadah individual kita kepada Tuhan.
Sebelas cerpen dalam “Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu” ini memberi warna demikian. Untuk menyebut contoh paling kuat untuk itu, kita bisa membaca dan menyelami cerpen “Ziarah”, dan “Tuhan dan Manusia”. Saya perlu menceritakan sedikit panjang tentang cerita “Ziarah” ini, karena kisah ini, bagi saya, sangat kuat pelajaran ibadah sosialnya.
Dan, saya pernah mendengar versi berbeda dalam balutan islami untuk cerita ini.
Kisahnya sederhana belaka: tentang dua orang tua yang akhirnya berhasil menunaikan niat untuk pergi beribadah ke Yerusalem (seperti ‘naik haji’ dalam tradisi Islam). Dua orang tersebut adalah Efim dan Eliyah. Singkat cerita: dalam perjalanan, mereka singgah di satu dusun kecil. Eliyah hendak pergi ke salah satu rumah penduduk dan meminta temannya berangkat duluan dan akan segera menyusul.
Nah, di sinilah nilai cerita mulai ditanamkan: rupanya desa itu terkena wabah dan peceklik atau gagal panen. Eliyah memasuki satu rumah penduduk di mana nyaris seluruh penghuninya terkapar kelaparan dan sekarat. Singkat cerita lagi: Eliyah tinggal beberapa hari di rumah itu untuk membantu keluarga itu bangkit sampai dirasa bisa mengelola tanah mereka sendiri.
Karena membantu keluarga tersebut, Eliyah nyaris kehabisan uang. Dan dia pun menyadari, dengan sisa uang yang ada tak akan bisa mengantarkan Eliyah untuk menyusul temannya ke Yerusalem untuk beribadah.
Padahal, sepanjang hidupnya ia ingin sekali menunaikan ibadah tersebut. Tapi dia tidak menyesal karena telah membantu keluarga yang sekarat tadi.
Eliyah memutuskan pulang. Setiba di desanya, ia disambut oleh keluarganya dan juga penduduk desa. dia jujur mengatakan jika ia tak jadi bernagkat ke Yerusalem, tapi tidak jujur mengatakan bahwa ia telah menolong satu keluarga yang tengah sekarat. Ia justru mengarang cerita bahwa uangnya hilang dalam perjalanan.
Tak lama kemudian Efim kembali dari ibadah di Yerusalem. Efim bercerita bahwa telah melihat Eliyah di Yerusalem, dan di setiap ritual ibadah, Eliyah katanya selalu berada di baris depan. Tapi Efim berkata selalu kehilangan jejak Eliyah. Dan Efim juga cerita singgah di dusun tempat Eliyah dan dia berpisah pertama kali. Katanya, Efim bertemu dengan satu keluarga tempat Eliyah masuk untuk meminta bantuan air (yang kemudian dia bantu tersebut).
Sampai di sini, saya rasa susah untuk tidak berhenti sejenak menahan gelombang haru dan kagum pada sosok Eliyah ini. satu kutipan dari Eliyah yang membuat saya terharu dan sempat menitikkan air mata, “Aku akan menebus tanah mereka dan akan kubelikan mereka seekor sapi. Apa gunanya menyeberang lautan untuk mencari Tuhan, bilamana selama itu aku kehilangan Yesus Kristus yang ada dalam diriku. Di sini, ya, aku harus memperbaiki nasib orang-orang ini.”
Saya menangkap nilai, bahwa apa yang dilakukan Eliyah adalah cermin ibadah sosial yang nyaris sama pentingnya dengan ibadah individual. Dan pengakuan Efim yang konon melihat Eliyah beribadah di Yerusalem adalah simbolisasi bahwa ibadah sosial yang tulus senantiasa akan diganjar pahala setimpal oleh Tuhan.
Sebetulnya saya suka membayangkan: Eliyah dianggap Tuhan sudah menunaikan ibadahnya kepada-Nya, tapi lantas Tuhan menggantikannya dengan memerintah malaikat mewakili ibadah individualnya untuk Tuhan.
Kisah ini, saya rasa, sangat popular. Saya pernah mendengar kisah ini semasa kecil, tapi dalam konteks perjalanan haji. Dan itu sangat membekas dalam hati saya. Saya rasa ini kisah yang bisa dijadikan pengingat kepada kita umas Islam, apakah kita sudah melihat sekeliling lingkungan kita sebelum melaksanakan ibadah haji? Apakah kita melaksanakan umroh sementara dua atau tiga tetangga kita hidup menderita? Ini mungkin pertanyaan sensitif, tapi absah untuk diajukan, agar kita senantiasa tidak melupakan aspek sosial kita dalam dunia ini.
Lalu untuk nuansa lain seperti akibat terlalu menjerumuskan diri pada ambisi duniawi, kita akan memetik pelajaran untuk itu dari “Berapa Luaskah Tanah yang Diperlukan Seseorang?” Tentang seorang laki-laki yang sangat ambisius dalam memperoleh tanah yang luas. Iblis mengujinya. Dalam usahanya mendapatkan tanah yang luas, ia lelah dan meninggal. Dan rupanya tanah yang ia butuhkan hanyalah seukuran kuburnya sendiri.
Buku yang saya resensi ini memang lawas. Namun, buku ini terus diterbitkan ulang oleh berbagai penerbit berbeda. tahun 2022 ini saja lihat di media sosial kumcerp ini diterbirkan oleh penerbit berbeda dengan sampul berbeda.
Membaca Leo Tolstoy akan jadi pilihan tepat di saat ramadhan ini.
Memang latar agama dalam cerpen-cerpennya adalah agama Kristen, tapi nilai kemanusiaan yang dia sampaikan jauh melampaui sekadar nilai ibadah ritual agama tertentu. Dia menggugat kemanusiaan kita, dia menggugat peran agama dalam lapangan sosial. Dia terus mengingatkan kita akan pentingnya menolong sesama dalam hidup kita.
Berpuasalah, dan terus pupuk rasa kemanusiaan kita.
Tambahkan Komentar