Ada dua penulis besar yang saya kenal meninggal pada bulan yang sama, April: Pramoedya Ananta Toer dan Gabriel Garcia Marquez. Pada 30 April 2006 silam, Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia. Tepat pada Kamis 17 April 2014, Gabriel Garcia Marquez tutup usia. Pram meninggal di usia 82, dan Gabo tutup usia pada umur 87. Pram lahir 6 Februari 1925. Gabo lahir pada 6 Maret 1928.
Pramoedya Ananta Toer, kita tahu, adalah sastrawan besar kita yang terkenal di seantero dunia berkat beberapa bukunya, khususnya Tetralogi Pulau Buru, yang seri pertamanya, “Bumi Manusia”, telah difilmkan, disutradarai oleh Hanung Bramantyo, dan dibintangi Iqbal Ramadhan.
Sedangkan Gabriel Garcia Marquez adalah pengarang besar Amerika Latin yang sohor berkat buku-bukunya, salah satunya, “Seratus Tahun Kesunyian”. Gaya menulisnya menginspirasi beberapa penulis Indonesia, salah satunya Eka Kurniawan yang terkenal dengan novel tebalnya, “Cantik Itu Luka”.
Dua penulis ini dengan cara sendiri menulis sejarah kehidupan bangsanya dengan jujur dan kritis. Alam manusia menjadi inti garapan cerita mereka. “Memang tidak mudah memahami manusia itu, biar penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam silet, pengetahuanmu tentang manusia tidak pernah bisa kemput,” begitu kata Pram, kurang lebihnya. “Jangan terlalu banyak main intelek-intelekan yang bikin rumit masalah dan tidak dimengerti orang, kembalilah ke alam realisme kehidupan manusia,” ujar Gabo.
Gabo menulis Seratus Tahun Kesunyian, Pram menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. ‘Sunyi’ menautkan dua karya besar mereka. Seratus Tahun Kesunyian berlatar satu tempat fiktif bernama Macondo yang ditinggali keluarga Buendia tujuh generasi. Kecamuk perang, intrik, dan kegeraman kaum ibu meilhat anak-anak mereka yang tumbuh dewasa tidak akur lagi menjadi cerita yang dikemas dengan gaya realisme magis khas Gabo.
Sementara itu Nyanyi Sunyi Seorang Bisu berkisah tentang satu tempat terpencil yang nyaris fiktif bagi manusia di bawah rezim orde baru, bernama: Pulau Buru. Berbagai kisah miris tentang penindasan dan intimidasi aparat, tentang solidaritas dan pengkhianatan di antara sesama tahanan diceritakan dengan gaya realis yang dimiliki Pram. Kesunyian manusia hadir dengan latar dan gaya khas tersendiri di dalam dua karya besar ini.
Dongeng masa kecil adalah hal lain yang menautkan dua penulis besar ini selain ‘manusia’ dan ‘kesunyian’. Gabo berkisah, neneknya adalah gudang bagi dongeng dan cerita-cerita rakyat. Sebagian besar cerita itu yang mengisi karya-karyanya. Pram juga demikian. neneknya adalah perempuan yang dipenuhi kisah dan dongeng. Bahkan ia membuat roman tersendiri tentang neneknya dalam Gadis Pantai.
Hal lain yang menjadi tautan adalah mesin ketik. Pram selalu berbangga setiap kali berkisah tentang mesik ketik. Gabo juga punya kenangan tersendiri dengan mesin ketik. Pram cerita, ia mengakrabi mesin ketik ketika diterima bekerja di Kantor Berita Domei Jepang, pada tahun 1942. “Aku diterima bekerja karena aku mampu mengetik 200 kata dalam satu menit.
Aku mahir menggunakan lak koreksi, aku pandai memasang karbon. Kemampuanku semakin maju dalam dua bulan bekerja. Dua bulan bekerja, aku semakin meningkat: mengetik 280 kata dalam satu menit,” begitu ia menulis di dalam satu suratnya untuk anaknya di dalam Nyanyi Seorang Bisu. Waktu ia masih remaja: 17 tahun.
Gabo lain lagi ceritanya. Menyangkut mesin ketik, ia terkenang pada peristiwa berdarah pada April 1948, yang lalu dikenal sebagai kerusuhan ‘Bogotazo’, yang dipicu oleh kematian seorang pemimpin oposisi dari kubu liberal di Kolombia, Jorge Elieter Gaitan.
Pada saat ini ia adalah mahasiswa hukum tahun kedua. Ia ngekos sebagaimana lazimnya mahasiswa. tapi malangnya: rumah kosnya terbakar pada peristiwa ini. Seluruh naskah cerpennya terbakar. Lalu ia teringat mesin ketiknya yang ia gadai di pegadaian untuk membayar hutang-hutangnya. Sialnya, mesin ketik itu turut hancur oleh para perusuh yang membakar kota.
Hanya saja perbedaannya: sepanjang hidupnya Pram tetap setia dengan mesin ketik untuk menulis karya-karyanya. Sementara itu Gabo mulai beralih ke komputer waktu ia mengerjakan naskah novelnya Love in the Time of Cholera. “Komputer itu luar biasa. Bisa kubuktikan…. Aku beralih dari menulis satu halaman sehari menjadi sepuluh halaman, dari menulis satu buku tiap tujuh tahun jadi menulis satu buku tiap tiga tahun,” tutur Gabo.
Dua penulis besar ini juga punya alasan personal masing-masing akan tujuan menulis. Pram dalam beberapa wawancara mengatakan, ia punya penyakit minder dan malu untuk mengeluarkan pendapat di hadapan orang. Jadi dia tulis semua itu. Dengan tulisanlah ia berani menyuarakan pendapatnya. Gabo sendiri berasalan, ia menulis agar disayangi oleh teman-temannya.
Kiri, marxis dan komunis adalah cap yang sama-sama pernah dilekatkan dan dituduhkan oleh banyak orang kepada Pram dan Gabo. Terhadap tuduhan dan cap ini, Pram menjawab singkat, “saya tidak pernah belajar marxisme dan leninisme. Saya bukan marxis. Saya bukan komunis.
Saya adalah Pramis,” belanya sambil tertawa.
Gabo menyangkal keras tuduhan yang mengatakan dia Komunis, namun ia mengaku selalu berpihak kepada kaum tertindas dan selalu berorientasi kepada mereka. Gabo fasih bicara politik. analisanya tajam laksana politikus papan atas.
Memang mereka punya sejarah tersendiri sebagai alasan orang menuduhnya kiri atau komunis. Pram sejak bergabung dengan Lekra dan pergi ke China untuk mengenang 100 tahun pengarang legendaris Lu Xun, sejak itu vonis sebagai komunis melekat kepada dirinya.
Sementara Gabo disebut komunis sejak bersahabat dengan mantan Presiden Kuba yang flamboyan nan kharismatik, Fidel Castro. Gara-gara persahatan ini Gabo selama 13 tahun tidak diberikan visa dan tidak boleh pergi ke Amerika.
Menyangkut soal demokrasi liberal, dua orang ini punya pendapat yang sama. Dalam satu kesempatan membela sahabatnya, Fidel Castro, dari tuduhan seorang jurnalis sebagai diktator, Gabo menanggapi, “Menggelar Pemilu bukan satu-satunya jalan untuk jadi demokratis.” Pram ketika ditanya soal apakah akan ikut Pemilu, ia menjawab dengan sinis, “bagaimana saya bisa ikut Pemilu kalau sistem dan militernya masih warisan Orba. Kalau saya ikut Pemilu, itu artinya saya ikut memilih kepala penjara saya sendiri.”
Amerika Latin memang bukan Indonesia.
Realisme magis Gabo kontras dengan Realisme Sosialis Pram. Gabo juga bukan Pram—yang pertama mendapat Nobel Sastra, yang satunya hanya bertahan dalam nominasi. Tapi Amerika Latin dan Indonesia punya sejarah kemiskinan dan kolonialisme yang nyaris sama. Dan dua realisme ini juga mengemban tugas yang hampir sama: bagaimana sastra harus sadar politik, dan rakyat mesti melek sejarah.
Ada banyak lagi hal yang menautkan dua penulis besar ini. Tapi pada aras substansi karya, mereka sama-sama hendak menampilkan sejarah kritis dan alternatif perjalanan bangsa dan negaranya sendiri.
Dengan gaya khas yang dimungkinkan oleh konteks zaman ketika karya itu ditulis. Pram mengajak pembaca membaca dan mempelajari sejarah dengan benar. Melawan pembengkokan sejarah sekaligus menumbuhkan kesadaran sebagai bangsa.
Gabo mencoba menulis sejarah dengan memberi arti kepada detail-detail yang tidak dituliskan para sejarawan formal.
April menjadi bulan kepergian dua pengarang besar ini. Mereka telah mencatat kesunyian hidup manusia di dalam sejarah bangsanya sendiri. Mereka telah menulis dan bersikap untuk kemanusiaan yang ditindas. Mereka akan abadi. Tapi kesunyian yang mereka tuliskan adalah medan perang bagi kita yang ditinggalkan.
Saya membayangkan di surga ruangan-ruangannya sudah dipisahkan sesuai dengan kriteria tersendiri. Di antara berbagai kriteria itu, ada ruangan yang ditempati oleh para arwah penulis yang
meninggal di bulan April. Kalau itu ada, berarti Gabo dan Pram akan bertemu di dalam satu kamar, dan mulailah mereka berbincang tentang mesin ketik, tentang dunia menulis, tentang dongeng, tentang perempuan-perempuan di dalam kehidupan mereka.
Selamat jalan Gabriel Garcia Marquez. Selamat jalan Gabo. Selamat jalan Maestro. Giliran kami mencatat kesunyian kehidupan kami sendiri!
Dedy Ahmad Hermansyah. Kelahiran Sumbawa Besar, NTB. Berdomisili di Kota Mataram. Pustakawan di Komunitas Teman Baca, Kota Mataram, NTB.
9 Komentar