
Judul : Jika Kucing Lenyap dari Dunia
Penulis : Genki Kawamura
Penerbit : penerbit baca
Tahun terbit : Juli 2020
Tebal : 255 halaman
Bayangkan hal ini terjadi pada diri kalian: dokter mendiagnosis kalian mengidap tumor otak stadium IV atau fase terminal. Waktu hidup kalian barangkali lebih pendek dari seminggu. Kalian akan mati segera. Tapi, datang iblis menawarkan permintaan untuk menyambung hidup kalian, apakah akan diterima atau tidak? Syaratnya terdengar sederhana: kalian hanya perlu menghilangkan satu benda kesayangan setiap hari.
“Jika Kucing Lenyap dari Dunia” berangkat dari masalah seperti itu. Tokoh utamanya adalah laki-laki berumur 30 tahun, bekerja sebagai tukang pos. Suatu hari dia membawa dirinya ke dokter atas sakit yang dikiranya flu biasa, namun diagnosis dokter jauh lebih menyeramkan dari itu: si tokoh utama ini ternyata punya tumor otak yang akan segera membawa dia pada alam kematian.
Di situlah tiba-tiba datang sosok iblis ke dalam kehidupannya. Iblis ini menawarkan sesuatu yang nampak menggiurkan baginya: memberinya kesempatan hidup lebih lama dari hari ke hari. Syaratnya, seperti persis telah disebutkan di awal tulisan: tokoh utama kita ini hanya perlu menghilangkan benda kesayangannya setiap hari.
Lalu narator ‘aku’ sekaligus tokoh utama novel ini mengajak kita pada narasi yang menyentuh sekaligus kocak. Percakapan dan tawar-menawarnya dengan iblis tak pelak kadang akan membuat kita geram dan tertawa. Tokoh utama awalnya menganggap permintaan ini sepele. Tapi ketika benda-benda yang akan dihilangkan menyangkut benda-benda yang belakangan dia sadari sangat berharga dalam hidupnya, permintaan si iblis mulai terasa memberatkan.
Ide besar novel ini, seperti telah disebutkan, sederhana belaka, malah mungkin terkesan klise: tentang kematian dan kesempatan menggiurkan jika ada pilihan untuk bisa menyambung hidup sehari dan sehari lagi. Tapi, meskipun bertolak dari ide besar itu, novel ini berhasil memberikan sentuhan perspektif yang unik. Secara narasi juga bersahaja tapi diwarnai nuansa haru dan tawa, sedih sekaligus menghangatkan perasaan kita.
Novel “Jika Kucing Lenyap dari Dunia” terasa bagai dongeng, namun ceritanya bergerak menjadi kisah keluarga yang sungguh mengharukan. Didesak oleh keinginan tokoh utama menyambung nyawa setiap hari, kisah di dalam buku ini membawa kita pada refleksi tentang betapa berharganya hal-hal kecil di sekeliling kita.
Makna memiliki dan kehilangan
“Untuk memperoleh sesuatu, harus kehilangan sesuatu.” Kalimat itu sering diucapkan almarhumah ibu si tokoh utama, dan mulai dia pahami saat menerima tawaran sang Iblis yang diberinya nama: Aloha. Kita mungkin akan teringat dengan kutipan bijak lainnya, “terkadang kita baru merasa benar-benar memiliki saat kita kehilangan.”
Begitulah, ketika hari demi hari dia mulai mempersilakan Iblis menghilangkan benda-benda kesayangannya, dia baru-baru sadar betapa berharganya benda-benda tersebut dalam hidupnya. Misalnya, ketika telpon hilang dari hidupnya, ia harus kelabakan mengatur janji dengan mantan kekasihnya hanya untuk bercerita jika dia akan segera mati.
Tentang telpon yang hilang dalam dunianya itu juga akan membawa kita, manusia modern ini, kepada refleksi tentang kemanusiaan kita. Bagaimana tanpa kita sadari kita mulai dikontrol oleh barang ‘ciptaan’ kita sendiri.
Telpon memang membuat kita praktis, seperti diakui tokoh utama, tapi kecenderungan saat ini justru jarang kita sadari malah membuat kita kehilangan petualangan, memori otak kita tidak optimal dijalankan.
Begitu pula saat benda-benda lain seperti cokelat nikmat, film, dan jam hilang dari dunianya. Benda-benda tersebut ternyata sangat berharga dalam hidupnya. Cara dia berpikir dan bersikap ditunjang oleh benda-benda tersebut.
Dan menariknya sekaligus mengejutkan dari novel ini, benda-benda tersebut ternyata punya hubungan dengan memori pada keluarga kecilnya: ayah dan ibunya.
Di sinilah perlahan-lahan drama keluarga muncul. Akan terungkap bagaimana buruknya hubungan si tokoh utama dengan sang ayah, dan betapa menderitanya si ibu sepanjang hidupnya berharap hubungan suami dan anak semata wayangnya dapat harmonis kembali.
Bagian ini sangat mengharukan dan jadi inti novel. Nuansa haru ini berjalin kelindan dengan suasana kocak dan ganjil percakapannya dengan iblis dan kucingnya yang tiba-tiba bisa bicara bahasa manusia.
Si tokoh utama kita ini sebetulnya kesepian.
Jadi melalui kehilangan benda-benda kesayangan, dia mulai membongkar rasa kesepiannya melalui kecintaannya pada benda-benda yang hilang tersebut. Dia mulai menyadari kesalahannya di masa lalu, di mana konfliknya dengan ayahnya justru membuat dia mengabaikan ibunya yang sakit—dan dia menyalahkan ayahnya atas itu.
Si tokoh utama kita ini mulai menyadari arti penting hidupnya. Dia juga mulai memupuk empati dan simpati hidup orang lain. Egoismenya lamat-lamat luruh. Sebab itulah ketika Kubis, nama kucing kesayangannya akan dihilangkan oleh sang Iblis, dia menolak. Kucing ini memiliki sejarah panjang. Kubis adalah titipan ibunya. Lewat Kubislah dia belajar tentang arti hidupnya, kehidupan keluarganya.
Si tokoh utama kita ini merasa sangat tidak adil jika harus mengizinkan si Kubis dihilangkan hanya demi memperpanjang hidupnya, atau menunda kematiannya.
Dan begitulah kisah novel ini berakhir: ia menolak si kucing dihilangkan dari dunia, dan ia bersiap menghadapi kematiannya sendiri. Karena ia sendiri mulai mendapat pencerahan, kematian seharusnya tidak perlu ditakuti. Ia pelajari itu dari si Kubis.
Novel pendek ini akan membawa kita pada makna memiliki dan kehilangan. Dua kekuatan yang tidak terpisah dan saling terkait.
Tambahkan Komentar