RT - readtimes.id

BLT Minyak Goreng Bukan Solusi

Readtimes.id– Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) Minyak Goreng kepada masyarakat dan akan diberikan selama tiga bulan, mulai April 2022, dengan besaran Rp100 ribu per bulannya. BLT Minyak Goreng ini diharapkan mampu meringankan beban masyarakat akibat kenaikan harga minyak goreng.

Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers terkait BLT Minyak Goreng, Jumat (01/04) mengatakan, bantuan itu akan diberikan kepada 20,5 juta keluarga yang termasuk dalam daftar Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH), serta 2,5 juta pedagang kaki lima yang berjualan gorengan.

Meski bertujuan meringankan beban masyarakat, BLT Minyak Goreng dinilai belum menjadi solusi jitu untuk mengatasi persoalan minyak goreng Tanah Air.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, BLT hanya dapat meredam gejolak masyarakat, namun tidak mengatasi masalah hingga ke akarnya.

“Pemberian BLT minyak goreng ibarat pemberian parasetamol ini cuma menurunkan demam, tapi penyebab utama naiknya harga minyak goreng belum ada solusinya,” jelasnya kepada Readtimes.id (18/04).

Menurut Bhima, idealnya di satu sisi pemerintah harus selesaikan masalah tata kelola minyak goreng kemasan dan curah. Jika hanya memberikan BLT tanpa tangkap mafia minyak goreng yang menjadi penyebab kelangkaan, maka BLT akan percuma.

Bhima juga mengingatkan soal akurasi data penerima BLT. Menurutnya pemberian BLT untuk PKH mungkin tidak ada masalah, karena datanya sudah semakin baik disinkronkan dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Namun, untuk pedagang gorengan, pendataan ini sangat penting karena dikhawatirkan ada duplikasi data penerima sehingga tidak tepat sasaran.

“Misalnya pedagang gorengan dengan pemilik yang sama menerima dua kali jatah BLT. Sementara yang gunakan minyak goreng kan tidak hanya pedagang gorengan, industri makanan minuman kecil yang berdampak juga harus diperhatikan pemerintah. Sebagian besar usaha mikro bergerak di sektor makanan minuman. Apa pemerintah bisa cover semua?,” ungkap Bhima.

Masalah lainnya adalah sebagian besar pedagang kaki lima (PKL) belum memiliki izin usaha yang terdaftar di pemerintah. Kemudian pedagang gorengan cenderung berpindah-pindah lokasi jualan sehingga dapat menyulitkan pendataannya.

Untuk itu, sinkronisasi dan akurasi data yang dimiliki pemerintah daerah, Kementerian Koperasi UMKM dan data di tingkat asosiasi harus berjalan. Pemerintah juga bisa membuka posko aduan di tiap kabupaten kota untuk mendata PKL yang berhak mendapat BLT tapi belum menerima haknya.

Poin kritis berikutnya adalah disparitas harga minyak goreng di Jawa dan di luar Jawa terlalu lebar. Menurut Bhima, bantuan senilai Rp100 ribu per bulan di luar pulau Jawa seperti daerah Sulawesi Tenggara misalnya hanya dapat digunakan untuk membeli minyak goreng kemasan 2 liter.

“Kalaupun disuruh membeli curah antri dan pasokan dibatasi. BLT tidak bisa dipukul rata per keluarga mendapat Rp100 ribu karena disparitas harga tadi berbeda beda,” jelasnya.

I Luh Devi Sania

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: