RT - readtimes.id

Childfree dari Kacamata Psikolog

Readtimes.id– Childfree by choice sedang menjadi gerakan yang cukup besar di kalangan masyarakat kota besar. Beberapa alasan seperti finansial, kesiapan menjadi orang tua dan juga kesehatan kerap menjadi pertimbangan di balik seseorang atau pasangan memilih untuk tidak punya anak.

Di Indonesia, jika seseorang memilih childfree maka itu merupakan keputusan yang cukup mengejutkan sehingga menuai pro dan kontra. Perbedaan pendapat mengenai childfree ini memang masih sangat kuat. Namun bila dilihat kondisinya, sepertinya masih lebih banyak orang yang kontra terhadap hal ini.

Sebuah masyarakat biasanya memang memiliki kepercayaan yang turun-temurun dan cenderung menetap. Di masyarakat kita sendiri ada slogan yang pada akhirnya menjadi kepercayaan yang dianut banyak masyarakat, yaitu “banyak anak banyak rezeki”. Sebagian besar masyarakat juga menganggap bahwa memiliki anak adalah sebuah prestasi atau penghargaan sebagai seorang laki-laki ataupun perempuan.

Hal ini tertanam di pikiran sebagian besar masyarakat kita dan akhirnya menjadikan standar bahwa sudah seharusnya keluarga wajib memiliki anak. Sehingga keputusan untuk childfree menjadi hal yang bisa dibilang ekstrim dan aneh.

Selain aneh, banyak orang yang berpikiran bahwa pasangan yang memutuskan untuk childfree adalah pasangan yang tidak bertanggung jawab dan gagal beradaptasi dengan perkembangan zaman. Karena salah satu alasan pasangan memutuskan untuk childfree adalah karena tidak siap mendidik anak untuk survive di era saat ini.

Psikolog Raissa Hadiman menuturkan, saat ini belum ada teori yang mengatakan bahwa memiliki anak adalah hal yang diwajibkan. Namun, kembali lagi, keputusan untuk memiliki anak ataupun tidak sebaiknya merupakan keputusan bersama yang disepakati oleh pasangan.

“Jangan sampai kita memaksakan nilai-nilai dan keputusan yang kita inginkan kepada orang lain. Saya rasa, kita tidak perlu bersikeras mempengaruhi orang lain untuk menjalankan apa yang kita jalankan,” ujarnya.

Pasangan yang memutuskan untuk menjalani pernikahan dengan prinsip childfree memiliki pertimbangannya sendiri. Tentunya kita tidak bisa semudah itu menghakimi keputusan childfree sebagai hal yang egois.

Menurut Raissa, segala keputusan yang telah dipertimbangkan matang-matang, dibicarakan dengan kepala dingin, dan disepakati oleh kedua belah pihak dapat dikatakan sebagai keputusan yang tepat.   Kecuali, jika antar pasangan masih terdapat perbedaan pendapat, merasa pendapatnya yang paling benar, dan saling memaksakan kehendak masing-masing, maka hal itu baru dapat dikatakan sebagai keputusan yang egois.

Kendati demikian, saat ini di berbagai kursus persiapan pernikahan atau konseling pernikahan, pasangan dipersiapkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja tidak sesuai keinginan. Hal ini perlu dilakukan agar pasangan lebih terbuka satu sama lain dan lebih siap menghadapi tantangan ke depannya.

“Kebanyakan pasangan yang berencana memiliki anak, akan ditanya dan dipersiapkan untuk kemungkinan jika pada akhirnya setelah menikah mereka tidak dikaruniai anak,” ujarnya.

Berangkat dari situ, sebaiknya pasangan yang memutuskan untuk childfree juga tetap mendiskusikan dan mempersiapkan kemungkinan jika suatu saat ternyata mereka tetap dikaruniai anak. Bagaimanapun juga, jika sudah lahir ke dunia seorang anak layak untuk mendapatkan pengasuhan yang terbaik, sekalipun kelahiran tersebut di luar rencana orangtuanya.

Fransiska Ignasia

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: