Sebagai alumni penyintas 7,4 Gempa Pasigala (Palu-Sigi-Donggala) Sulawesi Tengah, kami cukup paham kondisi emosional saudara-saudara yang kini sedang menghadapi situasi gempa Mamuju, Majene, Polmas, Sulawesi Barat.
Bingung, cemas serta khawatir, adalah reaksi emosional yang selalu menghinggapi setiap mereka yang berada dalam situasi bencana. Bingung, harus melakukan apa dan bagaimana untuk bisa bertahan hidup dalam situasi yang tidak pasti.
Cemas akan gempa susulan yang bisa saja terjadi kembali dan rasa khawatir akan keselamatan pribadi, ancaman kebutuhan pangan dan sandang yang terbatas, serta ketakutan akan kehilangan harta benda dan keluarga.
Bahkan pada kadar tertentu, situasi bencana seperti gempa akan menimbulkan keadaan traumatis seperti yang kami alami. Trauma berada di gedung tinggi, ruangan tertutup, dan sulit untuk tidur malam hari, karena mesti bersiaga jika gempa datang.
Setidaknya, kami butuh waktu 3 sampai 4 bulan mengatasi kondisi traumatis tersebut. Untuk berani menghadiri acara di hotel, berada di ruang tertutup bangunan bertingkat dan bisa tidur pada malam hari dengan tenang, tanpa bayang-bayang akan tertimpa atau tertimbun material rumah.
Ingatan yang membentuk traumatik bencana ini, mungkin saja terjadi pada banyak mereka yang menjadi penyintas seperti kami.
Namun, pertanyaan yang layak kita ajukan, apa rencana yang harus kita siapkan untuk menghadapi situasi dengan kemungkinan perulangan gempa yang hampir pasti memiliki potensi untuk terjadi kembali?
Apalagi, Indonesia memang menjadi bagian dari Ring of Fire atau Cincin Api pasifik yang aktif. Berbagai wilayah di negeri ini terdapat banyak aktifitas seismik yang terdiri dari busur vulkanik dan parit-parit (palung) di dasar laut yang senantias berpotensi untuk terus memicu gempa bahkan tsunami.
Untuk Sulawesi saja, setidaknya ada beberapa sesar aktif mulai dari Palu-Koro, Sesar Mamuju, Sesar Matano, Sesar Lawanopo, Sesar Walanae, Sesar Gorontalo serta sejumlah sesar lainya.
Lantas, kembali pada pertanyaan semula, bagaimana skema adaptasi sekaligus mitigasi yang kita miliki ? Utamanya, peran pemerintah dalam menjalankan amanah undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana?
Apakah, setiap gempa datang kita hanya akan terus-terusan gugup dan gagap, lalu lagi-lagi sibuk menggalang solidaritas mie instan, popok dan selimut ? Bukankah, harusnya ketersediaan logistik tersebut mesti selalu siap, lengkap dengan jalur penyaluran darurat dan lokasi evakuasi.
Menurut hemat kami, negara dan kita semua masih belum mampu mengubah ingatan kolekektif tentang bencana, menjadi pelajaran dan pembelajaran, untuk melahirkan rencana yang matang, agar korban jiwa dan korban materiil seperti rumah, gedung dan bangunan, semakin berkurang.
Karena bukankah, potensi gempa dan bencana lain bisa datang kapan saja. Sementara adaptasi dan mitigasi selalu saja kita lupakan, seiring dengan berakhirnya masa tanggap darurat.
Sampai gempa datang lagi, lalu kita ingat dan sadar kembali kita tidak pernah mempersiapkan adaptasi dan mitigasi kebencanaan kita dengan baik.
38 Komentar