Readtimes.id– Metaverse kini tengah hangat diperbincangkan setelah beredarnya kabar dari Meta (perusahaan milik Mark Zuckerberg yang menaungi Facebook, Instagram, dan Whatsapp) bahwa perusahaannya tengah mengembangkan teknologi yang diprediksi menjadi era baru teknologi internet dan bisnis dunia digital.
Metaverse merupakan simulasi dunia nyata manusia, diimplementasikan di dunia maya atau internet. Di metaverse, pengguna dapat membuat avatar atau karakter sesuai keinginan mereka.
Istilah metaverse pertama kali diperkenalkan dalam novel berjudul “Snow Crash” karya Neal Stephenson pada 1992. Metaverse semakin dikenal dengan munculnya film Trilogy The Matrix (1999), munculnya gim berbasis massively multiplayer online role-playing game (2004) dan sepak terjang Facebook yang membeli perusahaan VR Oculus pada 2014. Terakhir, istilah metaverse melambung saat bergantinya nama Facebook menjadi Meta di 2021.
Sekilas nampak seperti main-main, tetapi faktanya beberapa perusahaan besar sudah mulai melirik potensi bisnisnya. Misalnya, perusahaan fesyen Gucci sudah terpikir untuk meluncurkan produk-produk digitalnya di metaverse. Gucci mulai menjual pakaian virtual untuk para pemain The Sims dan Pokemon Go. Kita bisa membeli dan memakaikannya pada avatar yang kita mainkan. Pola semacam ini sudah terjadi dalam permainan online.
Bahkan diperkirakan produk digital di metaverse akan mirip dengan apa yang ada di dunia nyata, seperti tanah, rumah, serta alat transportasi. Karena jual belinya menggunakan nilai uang asli dan memungkinkan mata uang kripto suatu saat nanti, kita pun bisa mendulang keuntungan di dalamnya.
Dilansir dari octalysisgroup.com, metaverse diperkirakan bakal menjadi ladang bisnis yang menjanjikan. Pemilik metaverse mampu memasang jutaan iklan berbiaya tinggi kepada para penghuni metaverse. Selain itu, banyak developer perangkat lunak dan game yang kemudian akan mengintegrasikan produk mereka ke dalam metaverse. Pemilik metaverse akan mampu meraup keuntungan dari berbagai kesempatan tersebut.
Forbes.com menuliskan bahwa metaverse diperkirakan mampu meningkatkan keuntungan e-commerce yang mengadopsi teknologinya. Sebab, metaverse mampu membawa toko virtual langsung kepada para konsumennya. Hubungan dan transaksi antara penjual dan pembeli pun mampu berlangsung lebih intens dalam metaverse dibandingkan dengan e-commerce konvensional.
Selain itu, ada juga aktivitas pembelian tanah virtual di yang berpeluang menjadi wahana investasi menjanjikan di masa mendatang. Nextearth.io membeberkan data sejumlah lahan virtual yang berada di peta digital sejumlah kawasan atau aset penting di Yogyakarta juga telah terjual senilai mata uang kripto.
Beberapa di antaranya adalah lahan virtual di lokasi Kompleks Gedung Agung Yogyakarta terjual senilai 36,84 USDT, Kompleks Museum Benteng Vredeburg terjual 15,17 USDT, serta Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) DIY juga telah terjual senilai 6,19 USDT. Lahan virtual di lokasi Alun-alun Utara juga terjual 244.51 USDT dan Kepatihan atau Kantor Gubernur DIY terjual 17.39 USDT.
Indonesia Belum Siap?
Ekonom dan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, mengatakan peluang bisnis metaverse pasti ada karena perkembangan teknologi dan penetrasi internet yang meningkat. Sayangnya di Indonesia kesiapannya belum matang.
Menurut Huda, Indonesia masih perlu perjalanan panjang untuk bisa mengembangkan industri metaverse secara optimal. Infrastruktur, masyarakat dan kebijakan yang belum menunjang kegiatan digital membuat perkembangan metaverse dirasa cukup sulit di Tanah Air.
“Kita masih dalam tahap platform saja, belum sampai ke metaverse. Crypto masih dilarang, NFT muncul Ghozali, orang berjualan baju di NFT. Menurut saya masih jauh kesiapan masyarakat kita. E-ktp saja masih fotokopi untuk mengurus admin, ini pemerintah mau ngomongin metaverse,” ungkapnya kepada Readtimes.id (19/02).
Menurutnya, dari sisi infrastruktur, masih terdapat beberapa daerah yang belum dapat mengakses internet. Dari sisi masyarakat juga banyak yang masih “latah” terhadap teknologi. Akhirnya hal-hal tersebut menunjukkan ketidaksiapan sebagian masyarakat Indonesia untuk bisa mengadopsi teknologi metaverse.
Dari sisi kebijakan, Indonesia masih melarang kripto sebagai alat transaksi, begitu pula dengan NFT yang hingga detik ini belum punya aturan.
“Jadi menurut saya masih jauh dari kata siap tentang bisnis metaverse ini. Yang ada adalah bisnis pelayanan online saja. Tidak mencakup ke metaverse,” jelasnya.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan, kehadiran berbagai model transaksi ekonomi digital perlu direspons dengan regulasi baru. Sayang, pembuatan regulasi tidak bisa secepat kemunculan model-model baru dalam bisnis berbasis digital.
“Regulasi terkadang tidak dapat berubah secepat perubahan dari model transaksi sehingga sering kali atau terkadang muncul model-model transaksi baru yang regulasinya belum diatur secara sempurna,” ungkapnya dikutip dari keterangan resmi.
Yon menuturkan regulasi yang belum sempurna menyebabkan peraturan berbagai model transaksi tersebut masih samar-samar. Dia mengakui Ditjen Pajak sebagai otoritas pajak harus berjuang keras untuk merumuskan regulasi yang dibutuhkan.
Tantangan yang muncul karena perkembangan transaksi digital di bidang pajak dialami oleh semua negara di dunia. Misal, ketika dunia berupaya membuat regulasi tentang perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau kemunculan cryptocurrency.
Saat ini, lanjut Yon, pemerintah baru menerapkan ketentuan PPN dalam PMSE. Sementara itu, PPh atau pajak transaksi elektronik (PTE) harus menunggu konsensus global. Dalam perkembangannya, cryptocurrency dan non-fungible token (NFT) juga perlu diatur.
Maka, jauh sebelum pemerintah masuk ke dalam dunia metaverse, perlu dipertimbangkan keberlangsungan atas fenomena ini kedepannya dan dilakukan pembahasan dalam perumusan kebijakan. Apalagi mengingat dunia metaverse, cryptocurrency dan NFT bersifat borderless (tidak terikat batasan negara) dan saat ini belum ada regulasi yang mengaturnya.
Tambahkan Komentar