Readtimes.id– Eskalasi konflik antara Rusia dan Ukraina meningkat akhir-akhir ini. Hal itu terbukti setelah ketegangan militer terjadi di perbatasan kedua negara ini. Presiden Joko Widodo menilai konflik yang semakin meruncing ini berpotensi mengganggu pemulihan ekonomi dunia di tengah perebakan Covid-19.
Dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara G20, Kamis (17/2), di Jakarta, Jokowi menyerukan semua negara untuk meredakan ketegangan yang dapat memicu perang. Ia menekankan agar semua negara bekerja sama agar dapat bangkit setelah dihantam pandemi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, salah satu situasi yang perlu diwaspadai pada tahun ini adalah kondisi geopolitik di Eropa. Pasalnya, saat ini konflik Ukraina dan Rusia masih memanas.
“Karena yang terjadi seperti Rusia dengan Eropa, Nato, dan Amerika di Ukraina mempengaruhi dampaknya langsung ke komoditas energi, gas maupun minyak,” ujar dia dalam rapat bersama Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis, 27 Januari 2022.
Antisipasi Krisis Energi
Pengamat Ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Muhammad Faisal mengatakan hal yang perlu dikhawatirkan adalah kemungkinan terjadinya krisis energi apabila Rusia menginvasi Ukraina.
Sebagai salah satu produsen dan eksportir minyak bumi terbesar di dunia, konflik dapat mengganggu pasokan energi ke seluruh dunia termasuk Indonesia, dan meningkatkan harga minyak dunia yang saat ini sudah bertengger di level 90 dolar per barel.
“Di Eropa, dari potensi konflik Rusia-Ukraina, krisis energi kemarin sempat muncul, di AS pun demikian, sudah ada eskalasi inflasi termasuk inflasi yang disebabkan oleh energi. Dan ini kalau terjadi konflik lagi dan kembali mengeskalasi harga minyak dunia dan energi yang lain, akan terjadi peningkatan harga energi dan inflasi yang besar di banyak negara termasuk Indonesia,” jelas Faisal kepada Readtimes.id (22/2).
Sebagai net importir minyak, apabila ketegangan terus berlanjut, dapat dipastikan Indonesia akan menaikkan harga BBM di pasaran yang berdampak kepada peningkatan inflasi di tanah air.
Oleh karena itu menurutnya, pemerintah harus mengantisipasi hal tersebut agar tidak berdampak terlalu buruk bagi Indonesia. Menurut Faisal, pemerintah harus memastikan cadangan gas dan batu bara untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak bumi.
“Selain minyak bumi, kita kan pakai gas dan batu bara yang masih net eksportir, beda dengan minyak bumi yang kita net importir, itu dijaga. Walaupun tidak ramah lingkungan, yang bisa dilakukan ketika terjadi krisis energi global adalah menyiapkan alih bauran energi ke gas dan batu bara,” jelasnya.
Selain itu, dari sisi kebijakan moneter, konflik ini akan menekan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau the Fed untuk meningkatkan suku bunga acuan, Bank Indonesia pun biasanya akan merespon dengan hal serupa.
Faisal berharap Bank Indonesia memperhatikan kondisi domestik terlebih dahulu sebelum menaikan suku bunga acuan. Jika AS menaikkan suku bunga karena dikhawatirkan akan menganggu pemulihan ekonomi.
“BI jangan buru-buru dulu, kalau terjadi peningkatan tingkat suku bunga acuan yang cepat di domestik dalam kondisi pandemi belum usai, lalu kita masih dihadapkan gelombang omicron, ini dikhawatirkan pemulihan ekonomi malah bisa kembali menurun,” jelasnya.
Dari segi hubungan perdagangan, konflik Rusia-Ukraina tidak akan terlalu berdampak mengingat kedua negara tersebut bukanlah mitra dagang strategis Indonesia.
Tambahkan Komentar