Readtimes.id– Industri kelapa sawit Indonesia telah menyediakan lapangan pekerjaan untuk 16 juta tenaga kerja. Ironinya, buruh perkebunan sawit masih didominasi pekerja perempuan yang rentan terhadap tingginya risiko kerja.
Data dari Serikat Petani Kelapa Sawit menunjukkan bahwa pada sisi hulu rantai pasok kelapa sawit, 86 persen dari siklus produksi melibatkan perempuan. Data ini semakin memperjelas bahwa keterlibatan perempuan dalam industri kelapa sawit sangatlah signifikan.
Secara umum perempuan di perkebunan kelapa sawit adalah para istri dan anak perempuan petani sawit, buruh itu sendiri, dan perempuan di sekitar perkebunan.
Buruh kelapa sawit perempuan itu, sebagian besar berstatus sebagai buruh harian lepas, sehingga muncul perbedaan hak yang diperoleh antara buruh laki-laki dengan perempuan meski beban kerja mereka sama.
Ada juga perempuan pekerja kelapa Sawit yang berstatus ghost labour, yaitu istri-istri pekerja perkebunan kelapa sawit yang terpaksa membantu suaminya bekerja memenuhi target perusahaan. Ghost labour ini tidak mendapatkan upah dari perusahaan karena dianggap hanya membantu suami, padahal risiko kerja yang mereka hadapi cukup besar.
Industri kelapa sawit memang merupakan sektor yang kurang aman bagi perempuan. Ada begitu banyak tantangan yang harus dihadapi. Kementerian Ketenagakerjaan mengungkapkan ada tiga risiko bahaya yang kerap mengintai pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit.
Pertama, risiko bahaya terkait Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Seperti terbatasnya fasilitas keselamatan diri, jam kerja panjang, hingga tidak adanya cuti libur yang diberikan.
Kedua, bahaya terkait kesehatan reproduksi. Sebab, masih terdapat oknum manajemen perusahaan yang tidak memperdulikan hakikat seorang wanita yang kerap melalui fase reproduksi seperti haid dan hamil.
Terakhir adalah pelecehan dan kekerasan berbasis gender. Kantor berita Associated Press (AP) di Malaysia dan Indonesia menemukan betapa buruh perempuan rentan menjadi korban kejahatan seksual, mulai dari pelecehan verbal hingga pemerkosaan. Ironisnya korban hanya bisa menutup mulut. Pun jika bersuara, perusahaan cenderung mendiamkan atau mencari jalan damai dengan membayarkan uang ganti rugi.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware juga menyatakan, dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan, apalagi di sektor perkebunan kelapa sawit yang memiliki risiko tinggi.
Menurutnya, pekerjaan berisiko tinggi ini meliputi menyemprot yang jika dilakukan kurang tepat dapat menyerang pernapasan, kemudian memupuk, membabat, melintring. Parahnya lagi, terkadang pekerjaan ini tidak disediakan alat perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja yang memadai dari perusahaan.
“Jangankan alat pelindung, alat untuk bekerja pun para buruh harus membeli dan membawanya sendiri, jadi uang mereka itu sudah habis untuk beli alat kebun tidak kepikiran lagi beli alat pelindung,” ungkapnya.
Selain itu, pada industri kebun kelapa sawit juga tidak ada asuransi kecelakaan kerja tidak ada pelayanan kesehatan dan upah-upah lain di luar gaji pokok yang harusnya dibayarkan oleh pihak perusahaan.
“Tidak ada asuransi kecelakaan kerja dan pelayanan kesehatan juga minim, apalagi kebun sawit terletak di hutan yang kadang jauh dari faskes yang memadai. Kemudian tidak dapat bonus, THR (kecuali mencapai enam puluh hari kerja secara kontinyu hingga hari raya lebaran atau natal),” jelas Inda.
Upaya Pemerintah
Pemerintah telah melakukan berbagai langkah strategis mengatasi kesenjangan gender di industri kelapa sawit. Salah satu upayanya dengan melakukan analisis gender pada Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.
Hal tersebut diatur di dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2020, tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Selain itu, dikutip dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Menteri PPPA, Bintang Puspayoga bersama Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah menandatangani perjanjian kerja sama tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024 pada tanggal 11 Maret 2022 lalu.
“Poin-poin kerja sama yang akan dilaksanakan yaitu penyediaan data terpilah dan analisis gender sektor kelapa sawit dari hulu ke hilir, analisis gender terhadap industri kelapa sawit yang lebih komprehensif, serta turut serta meningkatkan kapasitas para pengambil kebijakan terkait pengarusutamaan gender dan perencanaan dan penganggaran responsif gender,” jelas Bintang Puspayoga.
Selanjutnya untuk menjamin perlindungan perempuan di tempat kerja, Kementerian PPPA juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penyediaan Sarana Kerja yang Responsif Gender dan Peduli Anak di Tempat Kerja serta Peraturan Menteri PPPA Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penyediaan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) di Tempat Kerja.
Editor : Ramdha M.
1 Komentar