RT - readtimes.id

Jejak Berdarah Sosok Westerling di Indonesia

Judul : Westerling : Aksi Brutal Sang Jagal
Penulis : Tim Majalah Historia
Penerbit : Kompas
Tanggal terbit : Mei – 2019
Tebal :xviii + 182 halaman

Westerling. Itu nama singkatnya. Raymond Pierre Paul Westerling, begitu lengkapnya. Sosoknya sedemikian lekat dengan orang Indonesia, khususnya masyarakat Sulawesi Selatan. Pembunuhan dan pembantaian yang ia lakukan pada rentang waktu Desember 1946—Februari 1947 itu telah menghilangkan nyawa 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan. Angka itu barangkali bisa diperdebatkan, namun trauma tak bisa dibantah.

Penjajahan Belanda memang tidak lantas selesai pasca diproklamirkan kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945. Mereka masih akan melancarkan aksi militer di Indonesia untuk mempertahankan Indonesia sebagai tanah jajahan mereka. Nah, dalam rentang pasca proklamasi Indonesia 1945 sampai Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, Westerling bersama-sama tentara lainnya diterjunkan ke Indonesia.

Sosok Westerling menjadi penting untuk kita pelajari sebagai bahan memahami betapa ‘berharganya’ Indonesia bagi Belanda, meski harus dengan jalan berdarah-darah. Westerling tak boleh kita lihat semata sebagai pribadi, namun aksi-aksi brutalnya di Indonesia sedikit banyak mencerminkan betapa ketar-ketirnya Belanda mengupayakan Indonesia tidak lepas dari genggamannya.

Namun demikian, tidak banyak referensi dalam bahasa Indonesia yang menyoroti secara khusus sosok monster satu ini. Untuk itulah, buku kecil berjudul “Westerling, Aksi Brutal Sang Jagal” patut kita apresiasi.

Ini buku ringkas, ringan sekaligus bernas. Ringkas dalam setiap artikel di dalamnya, ringan karena diramu dalam narasi jurnalistik gaya feature, dan bernas dalam menyajikan data dan fakta tentang pribadi Westerling.

Data-data arsip berpadu dengan keterangan lisan yang terverifikasi. Buku yang ditulis oleh berbagai penulis majalah sejarah Historia ini memberikan kita ragam perspektif dalam melihat Westerling dan sejarah kolonial yang melingkupinya. Tulisan sejarah dalam bungkus jurnalisme sastra—sungguh perpaduan yang klop.

Buku ini, seperti dikatakan sebelumnya, berkisah tentang Raymond Pierre Paul Westerling. Dia lahir di Istanbul, 31 Agustus 1919. Westerling berdarah Belanda. Pada usia 19 tahun ia kemudian meninggalkan Turki dan mulai menjajal berbagai posisi kemiliteran. Sampai pada akhirnya ia datang ke Indonesia pada 1946.

Ia kemudian menjadi Komandan Depot Pasukan Khusus–Depot Speciale Troepen (DST). Pasukan khusus ini terkenal sangat ditakuti.

Westerling dikenang senantiasa dengan kengerian di Indonesia, meski sempat dikagumi dengan perasaan patriotik oleh masyarakat Belanda yang memandangnya sebagai pahlawan bangsa. Cara pandang ini nantinya terkikis perlahan-lahan setelah aksi brutalnya mulai tersebar ke seantero dunia, bukan hanya Belanda.

Warga Sulawesi Selatan akan senantiasa mengutuk dia atas aksi brutalnya sepanjang 1946–1947. Dengan dalih memburu para pemberontak yang bersembunyi di hutan-hutan, dia membunuh dengan cara menembak atau menggorok leher orang-orang desa yang tidak bersedia buka mulut terkait keberadaan para pemberontak. Para pemberontak ini sesungguhnya adalah kaum republik yang menginginkan Indonesia lepas dari tangan penguasa kolonial.

Tak hanya itu, pada 1950 tepatnya tanggal 23 Januari, dia kembali berulah dengan mencoba mengganggu Republik Indonesia Serikat (RIS) yang baru saja terbentuk. Ia melakukan upaya menggulingkan pemerintahan Soekarno-Hatta. Ia melancarkan usahanya itu dengan pasukan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dia pimpin. APRA menembaki dengan brutal pasukan TNI dan membiarkan mayat-mayat mereka tergeletak begitu saja di jalan raya. Itu terjadi Bandung.

Namun usahanya tersebut berakhir gagal. “Kudeta” yang gagal tersebut menjadi petualangan terakhir Westerling di Indonesia.

Selepas itu, ia bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain, diungsikan dan diusir dari Singapura, lalu kembali ke Belanda sebagai warga sipil. Dia kembali melanjutkan kehidupannya bersama istrinya yang bekerja di salon. Westerling sendiri mengelola toko buku tua yang kemudian bangkrut karena tak ada pelanggan.

Westerling melewatkan masa tuanya dengan kesepian dan kekecewaan. Dia sempat menjajal keberuntungan dengan menjadi penyanyi opera, namun berbuah kritik negatif dari berbagai kalangan. Dia terjebak dalam alkohol dan dipenuhi hutang sana sini.

Sampai dia meninggal pada 1987, Westerling tak pernah benar-benar tulus meminta maaf. Dia terus-menerus membuat pembenaran bahwa apa yang dia lakukan selama di Indonesia adalah atas perintah.

Sungguh sosok yang fenomenal sekaligus mengerikan. Buku ini berhasil menyoroti Westerling dari berbagai sisi, sehingga kita bisa melihat dan memahami sosok Westerling dengan lebih dalam.

Dedy Ahmad Hermansyah

486 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: