Readtimes.id– Menjelang perayaan Kemerdekaan ke-76 tahun, Indonesia ternyata masih dijajah utang luar negeri sebesar Rp6.554,56 triliun per Juni 2021. Akankah kita mampu terbebas dari lilitan utang tersebut?
Belenggu jajahan utang luar negeri sudah dialami sejak awal kemerdekaan. Utang kian melesat tajam dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Utang Indonesia selalu naik setiap tahunnya, apalagi sejak pandemi Covid-19 melanda, setahun belakangan tumpukan utang Tanah Air semakin menggunung.
Mengutip data Kementerian Keuangan, jika dihitung secara kasar, maka rata-rata utang Indonesia naik ratusan triliun setiap tahunnya. Pada tahun 2017 sebesar Rp3.995 triliun lalu naik menjadi Rp4.418 triliun pada 2018. Kemudian, utang naik lagi menjadi Rp4.779 triliun pada 2019. Selanjutnya, jumlah utang melonjak Rp1.295 triliun menjadi Rp6.074 triliun pada 2020.
Lonjakan utang tahun ini terjadi karena pemerintah butuh banyak dana dalam menangani pandemi Covid-19. Kenaikan pun terus terjadi hingga Juni 2021. Rasio utang negara terhadap produk domestik bruto (PDB) menembus 41,35 persen pada Juni 2021. Angkanya semakin mendekati batas aman rasio utang sebesar 60 persen terhadap PDB.
Melihat kondisi seperti ini, rasanya sulit bagi Indonesia untuk terlepas dari jerat utang luar negeri. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda juga menjelaskan hal serupa. Ia juga menerangkan penggunaan utang yang tidak efisien.
“Selama menganut kebijakan fiskal ekspansif, yaitu belanja negara lebih banyak dibandingkan pendapatan, maka pembiayaan (utang) masih akan terjadi. Namun yang kita jaga adalah utang dilakukan secara hati-hati dengan pengelolaan yang prudent dan berkepentingan untuk masyarakat banyak,” ungkapnya secara tertulis kepada readtimes.id.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan utang memang hal yang tidak dapat terhindarkan. Tidak hanya Indonesia, negara Islam seperti Saudi (Arab), UAE, Qatar, Maroko, Pakistan, Afghanistan dan Kazakhstan juga menghimpun utang. Negara perlu melakukan utang untuk menjaga stabilitas perekonomian.
Di masa pandemi utang juga dipergunakan untuk menyelamatkan masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi selama pandemi.
Namun, Nailul mengatakan selama utang digunakan untuk pemulihan pandemic, baginya sah-sah saja. Kendati demikian, banyak infrastruktur yang tidak terlalu diperlukan tetap dibangun dan perlu banyak pendanaan sehingga utang semakin besar. Seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru yang pendanaannya bisa dari utang tersebut.
“Pembangunan IKN baru, kereta api cepat dan sebagainya yang saya rasa saat ini lebih penting untuk penanganan pandemi. Maka memang sangat penting refocusing anggaran dilakukan saat ini, dan ruang untuk refocusing ini sangat terbuka. Alokasi infrastruktur, perjalanan dinas, dan sebagainya masih bisa digunakan untuk penanganan pandemi,” jelasnya.
Selain itu, pengelolaan utang dengan melihat kemampuan pembayaran juga tidak optimal. Meski masih di bawah 60 persen dari PDB, negara masih mengandalkan kemampuan pembayaran yang berasal dari pembayaran perpajakan ekspor yang masih lemah. Selanjutnya masih terdapat sisa anggaran (SILPA), artinya uang tidak digunakan sepenuhnya. Hal ini patut dipertanyakan, mengapa kita masih utang ketika ada anggaran SILPA di APBN.
Kemudian proses utang piutang ini makin diperparah dengan keseimbangan primer yang minus. Artinya untuk bayar utang negara pun harus utang, sehingga keuangan negara sebenarnya masuk dalam keadaan gali lubang tutup lubang.
“Jika masalah utang ini tidak diselesaikan maka bisa menimbulkan masalah yang pelik, salah satunya ketidakstabilan perekonomian terlebih apabila utang mendekati jatuh tempo. Bukan tidak mungkin kejadian seperti krisis moneter 1997/1998 bisa terulang,” pungkasnya.
Tambahkan Komentar