Judul : Katak Terkenal dari Calaveras
Penulis : Mark Twain
Penerjemah : Afris Irwan
Penerbit : Kakatua
Tahun : Agustus 2018
Tebal : xiv + 176 halaman
Mark Twain (1835—1910) adalah pengarang besar modern Amerika. Novel kembar “Petualangan Tom Sawyer” dan “Petualangan Huckelberry Finn” adalah mahakaryanya yang terus dibaca hingga generasi sekarang, hingga difilmkan sudah 18 kali. Tom Sawyer dan Huckelberry Finn adalah sepasang sahabat yang nakal dan penuh petualangan. Nuansa humor, petualangan, dan sekaligus kritik pada moralitas dan isu ras di Amerika kuat di dalam dua novelnya tersebut.
Namun demikian, tidak banyak yang membicarakan karya cerita pendek penulis yang bernama asli Samuel Langhorne Clemens itu. Padahal, di luar kualitas yang bisa dibandingkan dengan karya-karya novelnya, Mark Twain cukup produktif menulis cerita pendek. Salah satunya bisa kita baca dalam rangkuman cerita-cerita pendeknya, “Katak Terkenal dari Calaveras”. Buku ini berisi sembilan cerita pendeknya yang terpilih yang terentang dari tahun 1865 sampai 1905.
Mark Twain pintar melucu tapi bukan dengan cara membuat kita tertawa terbahak-bahak. Jenis kelucuan dalam cerita-ceritanya adalah lucu yang absurd sekaligus filosofis, kadang sinis, kadang pula menyindir. Yang disinisi dan disinggungnya adalah standar-standar moral dan budaya yang di permukaan dianggap biasa-biasa saja namun menyimpan sekian masalah ketika diperhatikan. Begitulah kesan yang akan dapatkan seusai membaca kumpulan cerpen “Katak Terkenal dari Calaveras” ini.
Buktikan sendiri dengan membaca cerita pertama yang sekaligus jadi judul sampul buku ini, “Katak Terkenal dari Calaveras”. Cerita sembilan halaman ini berkisah tentang seorang laki-laki bernama Smiley yang nampak terobsesi untuk bertaruh untuk apa saja, dan dia selalu beruntung karena seringkali menang dalam pertaruhan. Namun yang absurdnya pada diri Smiley ini adalah tendensi bertaruhnya bukan semata-mata didorong oleh besarnya hadiah, melainkan oleh perasaan gengsi dan mau memang sendiri.
Ada humor yang getir ketika Twain menceritakan Smiley ini. Kita mungkin akan setengah tertawa mengetahui bahwa dia melatih seekor katak selama tiga bulan demi menantang orang bahwa tak akan ada katak lain yang bisa mengalahkan jauhnya lompatan kataknya sendiri. Namun, kita akan segera merasakan perasaan yang absurd ketika kataknya dikalahkan oleh katak lain dalam usaha pertamanya bertaruh. Memang dia dikalahkan secara curang oleh lawannya, tapi poinnya bukan itu. Tapi betapa susahnya menggambarkan kehancuran hati seorang ambisius macam si Smiley ini. Tentu dia tidak akan mempermasalahkan uang kekalahannya, tapi harga dirinya yang jatuh berkeping-keping.
Atau kita beralih ke cerita lainnya lagi, “Negro Pelayan Pribadi Jenderal Washington”. Di dalam cerita ini ada daya humor yang aneh, yang membuat kita ingin tertawa sekaligus berpikir filosofis. Kisahnya tentang seorang negro pelayan pribadi Jenderal Washington. Selama hidupnya pelayan pribadi bernama George ini nyaris tak pernah dibicarakan, meskipun jasa-jasanya pada tuannya sangatlah besar.
Namun tiba-tiba dia menjadi berita penting seantero negeri selepas kematiannya. Koran-koran memberitakan kematiannya. Nah, selepas itu, bertahun-tahun kemudian, kematiannya dilupakan. Namun, kembali dibicarakan dan diberitakan kematiannya pada tahun-tahun tertentu. Anehnya, redaksi atau kalimat yang diproduksi koran-koran nyaris sama. Dia ditulis seolah-olah dia meninggal berkali-kali, dan angka kematiannya selalu sama: 95 tahun. Kutipan-kutipan dari paragraf berita di dalam cerita ini membawa kita pada nuansa humor yang aneh.
Kita bisa menafsirkan macam-macam cerita “Negro Pelayan Pribadi Jenderal Washington” ini. Barangkali ia hendak mengajak kita mempertanyakan apa sebetulnya pahlawan itu, dan bagaimana sikap kita dalam mengenang pahlawan.
Humor yang sinis dan penuh kritik akan kita dapatkan pada cerita terakhir pada buku ini, “Doa Perang”. Ia berkisah tentang seorang laki-laki yang menyela sebuah khotbah di gereja yang berisi orang-orang yang sedang berdoa bersama untuk keselamatan keluarganya yang akan berangkat ke medan perang. Pendeta yang menuntun doa nampak mengucapkan doa-doa yang lembut, memohon kemenangan dan keselamatan orang-orang sebangsanya yang akan pergi berperang.
Nah, si laki-laki ini tiba-tiba mengambil alih wilayah si pendeta dan mengucapkan doa yang setelahnya dia disebut laki-laki gila oleh semua orang di dalam gereja. Coba kita kutip sedikit bunyi doa si laki-laki yang disebut gila tersebut:
“Ya Tuhan junjungan kami, bantu kami mencabik tentara musuh sampai hancur berantakan dengan peluru kami; bantu kami menutupi ladang-ladang mereka yang ceria dengan sosok-sosok pucat tentara mereka yang mati; bantu kami menenggelamkan gelegar senapan mereka dengan jeritan prajurit mereka yang terluka, meninggal kesakitan; bantu kami memporak-porandakan rumah-rumah sederhana mereka dengan badai api; bantu kami menyayat hati para janda tak berdosa dengan duka sia-sia…”
Mengerikan, bukan? Kisah ini nampak seolah-olah menyindir mereka yang sok tahu tentang perang, perang yang jauh dari jangkauan mereka, dan mereka tak memahami apa yang mereka ucapkan dalam doa. Si laki-laki yang dianggap gila itu justru menyadarkan mereka bahwa perang itu menyeramkan. Kemanusiaan nyaris tak ada. Yang ada hanya orang saling bunuh-membunuh.
Dan barangkali laki-laki itu adalah Mark Twain sendiri, mengingat dia sendiri ikut berperang dalam perang saudara pada 1861. Yah, begitulah, Mark Twain memang jagonya menyindir sambil melucu.
Tambahkan Komentar