“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.”—Milan Kundera.
Pembaca sastra di Indonesia sebagian besar kemungkinan mengenal Milan Kundera. Penulis asal Cekoslowakia yang terusir dan tinggal di Perancis ini meninggal dunia 11 Juli lalu. Dia berumur panjang, meninggal di usia 94 tahun (1929—2023). Telah banyak karyanya terbit dalam bahasa Indonesia, yang membuktikan pembacanya ada di Tanah Air kita ini.
Milan Kundera adalah penulis pasca perang dunia II, yang seperti penulis di zamannya dominan mempermasalahkan politik, begitu kata Eka Kurniawan. Eka Kurniawan, sastrawan Indonesia, begitu menggandrungi karya-karya Kundera.
“Novel bagi mereka adalah perwujudan tubuh politik. Individu dalam novel-novel mereka tak pernah semata-mata manusia dengan perasaan dan agensinya, tapi lebih merupakan gagasan politik. Kita akan menemukannya dalam novel Gabriel García Márquez di Kolombia. Novel Günter Grass di Jerman. Pramoedya Ananta Toer di Indonesia. José Saramago di Portugis. Dan, tentu saja Milan Kundera di Ceko,” begitu tulis Eka Kurniawan pada laman Facebooknya.
Setidaknya ada dua citra yang disematkan pada diri Milan Kundera: seorang eksil dan penulis novel-novel yang bernuansa erotis-romantis, filosofis, dan humor-politik.
Sejak 1975 ia hidup dalam pembuangan di Perancis, dan pada 1979 kewarganegaraan Ceko-nya dicabut meski kemudian diberikan kembali ada 2019. Tentu saja novel-novelnya yang dianggap tidak sejalan dengan pemikiran rezim komunis yang menjadi pemicunya. Padahal, Kundera sendiri adalah anggota partai tersebut di negaranya, Cekoslowakia.
“Kitab Lupa dan Gelak Tawa”, yang diterjemahkan dari bahasa Inggris “The Book of Laughter and Forgetting” adalah salah satu novel fenomenalnya, khususnya di Indonesia. Melalui tujuh cerita yang berbeda-beba tapi saling menjalin itu Kundera seakan hendak menyindir rezim yang anti humor (sebagaimana tersirat dalam frase ‘gelak tawa’) dan berupaya menghilangkan memori dalam kepala warganya (sebagaimana tersirat dalam frase ‘kitab lupa’).
Nuansa serupa itu—humor politis—juga akan kita temukan dalam novel-novelnya yang lain. Misalnya lagi, dalam novelnya yang tipis “Pesta Remeh-Temeh” ia menggunakan sosok Stalin, pemimpin Rusia yang fenomenal, sebagai penggambaran penguasa yang anti humor. Nampaknya, nyaris semua novelnya memiliki nuansa humor politis dengan kadar berbeda-beda.
Rasa-rasanya nuansa seperti ini memiliki korelasi pula dengan kondisi sejarah politik Indonesia sendiri. Kita memiliki salah satunya Pramoedya Ananta Toer yang selama 14 tahun sejak 1965—1979) diasingkan ke Pulau Buru dan novel-novelnya dilarang terbit oleh Rezim Orde Baru.
Barangkali karena itulah banyak pembaca sastra Indonesia yang mengutip kutipan sangat terkenal dalam novel “Kitab Lupa dan Gelak Tawa”: “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.” Ya, sebagaimana kita tahu, bagaimana politik Orde Baru melarang karya-karya khususnya bermuatan sejarah yang bertentangan dengan ideologi rezim untuk terbit. Itu usaha rezim agar kita alpa atau lupa dengan sejarah. Kebenaran hanya yang berdasarkan versi rezim.
Meninggalnya Milan Kundera menandai perginya satu-satu penulis angkatan pasca perang dunia kedua. Masa ini adalah krusial dalam sejarah seluruh bangsa di bumi ini.
Karena perang dunia kedua tidak melulu berurusan dengan angkat senjata dan saling membunuh, namun juga bersentuhan dengan perbenturan ideologi, perjuangan untuk hidup yang lebih baik. Dan segala macam kondisi dunia saat ini adalah hasil dari dunia pasca perang dunia kedua.
Maka itu, membaca karya-karya Milan Kundera adalah penting. Bukan hanya menikmati keindahan narasi fiksional khas Kundera, namun sekaligus mempelajari dan memahami watak penguasa yang dikritiknya.
Di hadapan kekuasaan, jangan sampai ingatan kita pada masa lalu dicerabut, dan jangan biarkan rezim merebut selera humor kita.
Selamat jalan, Milan Kundera. Tugas sejarahmu telah usai. Kini giliran kami.
Tambahkan Komentar