
Readtimes.id– “In Yandy Laurens, we trust”, ungkapan penikmat sinema terhadap beberapa karya layar lebar Yandy Laurens tersebut memang benar adanya. Penonton cukup percaya pada Yandy, mereka akan disuguhkan film-film yang rasanya ‘memeluk’ para penonton.
Usai sukses menggarap film “Keluarga Cemara” dan “Jatuh Cinta Seperti di Film-Film”, Yandy kembali menyapa penonton pada karyanya berjudul “1 Kakak 7 Ponakan”. Film ini merupakan adaptasi sinetron dengan judul yang sama di tahun 1996 karya Arswendo Atmowiloto.
Film yang pertama kali tayang pada 23 Januari 2025 ini mampu menarik penonton hanya dengan membaca judulnya. Penonton akan dibuat penasaran dengan bagaimana cerita sang kakak dan 7 keponakannya.
Seperti judulnya, film ini bercerita tentang sekeluarga yang dikepalai seorang arsitek muda, Hendarmoko (Chicco Kurniawan). Peran kepala keluarga tak langsung ia dapatkan. Sepeninggal kakaknya, Agnes dan kakak iparnya, Atmo, Moko mengambil peran orang tua untuk semua keponakannya. Ia pun dipaksa segera beradaptasi dengan keadaan, sehingga acap kali ia terlihat kebingungan.
Moko pun harus melepas mimpi yang telah dibangunnya bersama sang kekasih, Maurin (Amanda Rawles).
Bak malaikat tanpa sayap, tak realistis rasanya terdapat seseorang seperti Moko di kehidupan nyata. Menjadikan keluarga sebagai prioritas di atas segudang mimpi yang dimiliki Moko membuat penonton iba. Sepanjang film, penonton melihat betapa lelahnya Moko dari hanya sudut matanya.
“Kok rasanya aneh ya, Rin. Bisa berpikir punya hidup sendiri kok rasanya salah ya?” ucap Moko ketika ia mencoba memikirkan dirinya sendiri.
Berdurasi dua jam sebelas menit, penonton disuguhkan seseorang yang rela mengorbankan segalanya untuk keluarga. Kita mungkin tidak akan mendapatkan ketulusan dan kemurahan hati Moko di dunia nyata, tapi rasa sayang Moko ke keponakan-keponakannya akan terasa dekat dengan kita.
Setelah menonton film ini, penonton diajak berpikir tentang anggota keluarga masing-masing. Apakah ada yang mengemban peran terlalu banyak seperti Moko atau perasaan menjadi ‘beban’ yang dirasakan keponakannya. Namun, film ini menyadarkan penonton definisi keluarga yaitu yang saling memperjuangkan satu sama lain.
“Ya, semua keluarga itu emang nyusahin, tapi karena kita keluarga jadi kita ga merasa kita disusahin”.
Film keluarga yang ‘hangat’ ini akan membuat penonton menangis namun di menit selanjutnya akan tertawa dengan celetukan keponakan-keponakan Moko. Pemilihan tone, lagu tema, hingga dialog pada film ini seakan menyatu dan bekerja sama untuk ‘membanjiri’ bioskop.
Film ini terasa sangat dekat walaupun kita tidak sedang seperti Moko yang menjaga tujuh keponakan. Hal itu dikarenakan permasalahan yang dihadapi Moko dan keluarganya bermunculan dan berkembang di sekitar kita. Sehingga tidak sedikit penonton meninggalkan bioskop dengan mata sembab.
Editor: Ramdha Mawaddha
Penulis: Zakia Safitri Sijaya
Tambahkan Komentar