RT - readtimes.id

Menteri Kesehatan Ahli Fisika Nuklir Mampukah Atasi Pandemi?

READTIMES.ID – Presiden secara resmi telah mengumumkan hasil reshuffle kabinet menggantikan 6 nama yang sebelumnya dipercayakan oleh Presiden Joko Widodo untuk memimpin kementerian. Salah satunya adalah Budi Gunadi Sadikin yang menggantikan posisi dokter Terawan sebagai Menteri Kesehatan RI. Keputusan Presiden menuai banyak pro dan kontra khususnya di lingkup tenaga medis.

Nama Budi Gunadi Sadikin bukanlah pemain baru di jajaran pemerintahan saat ini. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Wakil Menteri BUMN yang ditunjuk sejak 25 oktober 2019.

Alumnus Fisika Nuklir, Istitut Teknologi Bandung (ITB) itu dalam rekam jejak karirnya yang berliku belum pernah bersentuhan dengan dunia medis.

Kali ini, READTIMES.ID telah menghimpun beberapa tanggapan paramedis soal ditunjuknya Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan.

Pertama, dr. Rinaldi R. Nadjil. Menurutnya, siapa pun berhak menjadi menteri. Tak bisa dipungkiri, latar belakang, pengalaman dan kinerja di dunia kesehatan menjadi modal utama bagi mereka yang duduk di kursi Menteri Kesehatan. Hal ini sangat mencengangkan kacamata paramedis terutama para dokter dan tenaga kesehatan lainnya.

“Terkait soal pandemi, sebenarnya rada-rada bingung. Seorang jebolan Fisika Nuklir, Banker (Mantan Direktur Bank Mandiri) kok bisa jadi Menkes? Entah ini terobosan atau uji coba. Sebenarnya saya kurang setuju, bukan tidak setuju ya. Analoginya begini: seperti tukang cendol yang jual pisang ijo. Bisa bikin pisang ijo tapi tidak seenak cendolnya”.

Alumnus Universitas Muslim Indonesia ini mengakui bahwa ini kewenangan Presiden yang memiliki otoritas menentukan siapa saja yang akan menduduki kursi Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

“Namun, saat ini Negara sedang melawan pandemi Covid-19 yang harus dituntaskan. Pandemi Covid-19 di Indonesia nyaris setahun; pasien Covid-19 saban hari terus meningkat. Setahun ini, Indonesia gagal melawan Covid-19”, tandasnya.

Kedua, dr. Nurholis Majid. Menurut pandangannya, secara tegas ia tidak sependapat dengan keputusan dari Presiden.

“Sektor kesehatan itu merupakan sektor vital untuk suatu negara. Banyak sekali masalah-masalah di dunia kesehatan sampai hal yang terkecil—bukan hanya soal manajerial atau administratif saja. Begitu banyak hal yang membutuhkan keputusan spesialistis dari latar belakang kesehatan untuk mengambil sebuah keputusan. Untuk sekelas puskesmas harus dipimpin oleh dokter atau basic kesehatan masyararakat. Mestinya, sekelas Kementerian Kesehatan yang mengurusi problematika kesehatan nasional pun harus memiliki latar belakang kesehatan”, jelasnya.

Nurholis memberikan contoh seperti pandemi saat ini. Betapa tidak, sangat dibutuhkan pengambil kebijakan yang paham tentang kondisi pandemi. Mulai dari penanganan, pencegahan dan rehabilitasi sosial. Menurutnya, ini bukan hanya sekadar bertanya kepada para ahli-ahli kesehatan, kemudian menteri mengambil keputusan—setelah itu selesai.

Jika mekanisme pengambilan keputusan dilakukan secara demikian, Nurholis menganggap itu tidak elok. Masalah BPJS sampai saat ini masih menjadi polemik dua sisi antara kebijakan kepada rakyat dan kesejahteraan kepada tenaga medis. Tambahnya, semua itu harus dipikirkan oleh Menteri Kesehatan.

Masih banyak masalah yang harus diselesaikan oleh Kementerian Kesehatan. Selanjutnya, ia menambahkan betapa banyak permasalahan yang belum selesai di dunia kesehatan. Misalnya, permasalahan di Puskesmas, Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan lainnya. Ada hal yang tidak sinkron antara kebijakan di perifer dan pusat.

Ketika ditanyakan perihal jika diberi kesempatan bertemu Pak Menteri Kesehatan yang baru, Nurholis secara tegas akan mempertanyakan beberapa hal.

“Apa yang membuat bapak yakin bisa mengatasi permasalahan kesehatan, sedang bapak tidak memiliki basic ilmu kesehatan?”

“Apakah ada jaminan bapak bisa lebih baik dari Menteri-menteri sebelumnya yang notabenenya memiliki basic ilmu kesehatan?”

Saat dikonfirmasi mengenai pembahasan dari organisasi kedokteran, sejauh ini, menurutnya, masih sebatas pendapat pribadi masing-masing dokter. Dan sebagian besar menolak keputusan tersebut. Sampai saat ini (22/12), organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) belum mengeluarkan statement secara resmi.

Ona Mariani

34 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: