RT - readtimes.id

Nasib Naas Industri Buku dan Hilangnya Perhatian Negara

Readtimes.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada peringatan hari buku nasional 17 Mei 2020 pernah berkata, “Saat-saat seperti inilah kita lebih punya waktu untuk membaca buku, baik buku fisik maupun buku digital.”

Tapi, kalimat Jokowi itu hanya mimpi belaka jika sebagian besar penerbit dan toko buku harus tumbang akibat pandemi. Menurut data Yayasan 17000 Pulau Imaji, penerbit Kesaint Blanc mengalami penurunan penjualan di toko buku sebanyak 31 persen selama pandemi. Penerbit Mizan juga bernasib serupa, bahkan penurunannya lebih banyak yakni 40 persen.

Toko buku besar seperti Gramedia, yang merajai 61% penjualan buku di Indonesia, bahkan harus menutup 61 gerai bukunya sejak pandemi Maret 2020. Efeknya, rata-rata penerbit kehilangan 40 hingga 70 persen penjualan.

Ketua Komite Buku Nasional 2015-2019, Laura Bangun Prinsloo mengatakan jika kondisi itu terus berlanjut dan tidak ada perhatian serius dari pemerintah, maka sejumlah penerbit tingkat kecil dan menengah tak akan bisa bertahan.

Apa yang dikatakan Laura itu diamini oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Dalam hasil riset yang dipublis di situs ikapi.org, sebanyak 58.2% penerbit mengalami penurunan penjualan lebih 50%, 29.6% penerbit mengalami penurunan penjualan antara 31%- 50%, sebanyak 8.2% penerbit mengalami  penurunan antara 10% sampai 30%.

Jumlah penerbit yang masih bisa mempertahankan volume penjualannya tinggal 4.1% penerbit. Ini jelas kabar buruk.

Fakta lain yang lebih mengejutkan dari riset itu yakni sebanyak 60.2% penerbit menyatakan mereka hanya sanggup menggaji karyawan mereka selama 3 bulan, 25.5% menyatakan  bisa bertahan selama 3-6 bulan, 9.2% penerbit menyatakan bisa bertahan selama 6-9 bulan. Hanya 5.1% penerbit menyatakan bisa  bertahan antara 9 bulan sampai 1 tahun.

Di sisi lain, perusahaan penerbit juga terpaksa menerapkan sistem kerja dari rumah. Langkah ini mungkin efektif mengurangi penyebaran virus corona, tapi tidak efektif untuk membuat penerbit bertahan. Walhasil, sebanyak 50% penerbit mengalami penurunan produktivitas karyawan yang merosot tajam, 32.7% merosot sedang, 15.3% merosot sedikit akibat penerapan WFH. Ini tentu berpengaruh ke laporan keuangan penerbit.

Dimana perhatian pemerintah terhadap industri buku? Sejauh ini belum jelas, selain menutup Komite Buku Nasional.

Pemerintah menggelontorkan dana ratusan miliar untuk menyelamatkan industri pariwisata yang terjun bebas selama pandemi, tapi tidak untuk industri buku. Masih dari riset IKAPI, sebanyak 71.4% penerbit menyatakan bahwa tidak ada pemesanan sama sekali dari Dinas Pendidikan maupun perpustakaan daerah selama pandemi. Sebanyak 26,5% menyatakan ada pesanan tapi berkurang.

Mungkin pemerintah lebih menginginkan masyarakat tetap berwisata daripada membaca buku.

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: