RT - readtimes.id

Industri Perbukuan: Kurang Perhatian Pemerintah, Digitalisasi Bisa Jadi Pahlawan?

Industri Readtimes.id – Industri buku adalah salah satu sektor yang dihajar pandemi Virus Covid-19 (corona). Temuan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang menyebut sebanyak 63.3% penerbit mengalami penurunan permintaan buku lebih dari 50% bukanlah fakta yang mengejutkan. Semua memaklumi. Terlebih indeks kegemaran membaca warga Indonesia memang masih tergolong kecil bahkan sebelum virus menyerang.

Tapi yang paling disayangkan adalah luputnya perhatian pemerintah. Tak perlu repot mengorek-ngorek porsi anggaran untuk industri buku di APBN yang rumit itu, anda cukup mencari di googel dengan kata kunci “pemerintah selamatkan industri buku” saja, sulit menemukan artikelnya. Akan berbeda jika anda mencari artikel soal menyelamatkan industri pariwisata misalnya.

Pemerintah bukannya tak mengetahui soal kondisi perbukuan ini. Laura Bangun Prinsloo, Ketua Komite Buku Nasional 2015-2019, Laura Bangun Prinsloo, bersama Yayasan 17000 Pulau Imaji, sudah pernah mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi melalui Kantor Staf Kepresiden pada April 2020 silam. Mereka meminta pemerintah menyiapkan langkah-langkah yang diperlukan bagi penyelamatan industri perbukuan.

Ilham Alimuddin, Direktur Rumah Baca Philosophia (RBP), juga berpandangan sama. Pendiri salah satu komunitas baca terbesar di Makassar itu menilai pemerintah semestinya mengambil langkah penyelamatan industri perbukuan sedari dulu.

“Mimpi kita dari dulu sama. Kita semua, termasuk pemerintah, terus berupaya meningkatkan minat baca masyarakat dengan berbagai cara. Membiarkan industri perbukuan terpukul akibat pandemi sama saja mengubur mimpi itu,” kata Ilham, ketika dihubungi Read Times, Minggu (7/2/2021).

Digitalisasi?

Industri buku, seperti industri lainnya, memang harus cepat mengubah gaya bisnis menjadi online dan digital. Industri ini seolah tak punya pilihan lain.

Sejumlah data memang menunjukkan penjualan buku melalui online meningkat 3 kali lipat selama pandemi, seperti kata Arys Hilman Nugraha, Direktur PT Pustaka Abdi Bangsa. Namun sayangnya, peningkatan itu tak mampu menutupi kerugian akibat menurunnya penjualan offline.

Masalah lainnya adalah mengubah buku kertas menjadi buku digital bukanlah persoalan mudah. “Tak segampang itu. Butuh proses yang panjang,” lanjut Ilham.

Selain itu, keuntungan penjualan digital tak semuanya mengalir ke kantong penerbit, toko resmi, atau penulis. Masih dari riset yang sama, IKAPI mengungkap fakta bahwa selama pandemi 54,2% penerbit menemukan pelanggaran hak cipta melalui penjualan buku mereka di Market Place. Juga, 25% penerbit menemukan pelangaran hak cipta melalui pembagian PDF buku mereka secara gratis.

“Saya pikir ini masalah serius, ya. Tak hanya soal ekonomi dan lapangan kerja. Buku sebagai bahan baku utama dalam dunia pendidikan. Jika industri buku macet, maka peradaban manusia akan suram. Industri buku perlu jadi perhatian serius oleh pemerintah,” tutup Ilham.

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: