RT - readtimes.id

Perlindungan Konsumen dalam Layanan Kesehatan

Readtimes.id – Kesehatan merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan, sedangkan pengetahuan mengenai kesehatan pasien terbatas. Sehingga pasien maupun keluarganya akan mencari pertolongan kepada petugas kesehatan. Pelayanan kesehatan mempunyai ciri khas yang berbeda dengan pelayanan jasa atau produk lainnya. Produk pelayanan kesehatan bukan konsep homogen, pembatasan terhadap kompetensi, ketidakpastian tentang sakit, serta sehat sebagai hak asasi. Pasien merupakan faktor liveware, yang harus dipandang sebagai subjek dan memiliki pengaruh besar atas hasil akhir layanan. Kepuasan pasien menjadi menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan ketidakpuasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum.

Semua orang seharusnya mengetahui hak dan kewajiban perlindungan konsumen. Dalam layanan kesehatan, sebisa mungkin menghilangkan praktik yang dapat merugikan salah satu pihak. Terdapat perlindungan terhadap hak pasien diantaranya, mendapatkan ganti rugi jika pada kenyataanya pelayanan atau obat yang diterima justru menimbulkan kerugian bagi pasien. Medapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan selama dirawat oleh dokter, menerima informasi terkait penyakit dan rencana pengobatan yang disarankan dokter.

Plt Ketua Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) Sulawesi Selatan, Ambo Masse mengatakan, secara umum, terkait dengan layanan publik, baik di sektor jasa termasuk pelayanan Kesehatan. Ketika terjadi keluhan terlebih dahulu mamakai mekanisme pengaduan yang ada. Seperti mencoba mengadu dulu pada tempat melakukan pengobatan seperti baik puskesmas dan rumah sakit. Apakah sudah menerapkan standar operasional prosedur oleh pihak tempat melakukan pengobatan misalnya pihak rumah sakit .

“Ketika tidak bisa diselesaikan dengan baik, maka YLK Selsel akan melakukan mediasi, sejauh mana permasalahan yang dilakukan. Apakah sudah sesuai dengan SOP yang dilakukan oleh pihak rumah sakit. Atau dari sisi pasien, apakah mereka juga sudah memenuhi persyaratan atau informasi serta kewajiban yang sudah dilakukan misalnya sebagai konsumen. Apabila seiring waktu ketika tidak ada titik temu kita bisa melakukan advokasi. Terkait kompensasi, tergantung jenis pelayanan yang dilakukan,” ujarnya kepada readtimes.id, Senin 15 Maret 2021.

Masalah perlindungan konsumen sejak berlakunya UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen sangat beragam. Namun gugatan konsumen terhadap pelayanan jasa kesehatan yang berhubungan dengan masalah kesehatan masih tergolong langka. Ini ditandai dengan pola pergeseran dari paternalistic menuju patnership, yaitu kedudukan dokter sejajar dengan pasien. Dokter merupakan patner dan mitra bagi pasien.

Jika ingin mengetahui seorang dokter melakukan malpraktek atau tidak. Maka kita dapat melihat unsur standar profesi kedokteran sebagaimana dirumuskan oleh Leenen, yaitu : berbuat secara teliti dan seksama dikaitkan dengan kelalaian. Ini sesuai dengan ukuran ilmu medik. Dokter yang tidak memenuhi unsur standar profesi kedokteran berarti melakukan suatu kesalahan profesi atau malpraktek.

Lalu bagaimana tanggung jawab hukum pemberi pelayanan kesehatan dalam hal ada dugaan kasus malapraktik?

Berbeda tanggungjawab hukum rumah sakit swasta dan negeri. Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan, pegawai yang bekerja pada RS Pemerintah menjadi pegawai negeri, dan negara sebagai suatu badan hukum dapat dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain.

Sedangkan tanggungjawab rumah sakit swasta untuk manajemen rumah sakit dapat diterapkan pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata. Rumah sakit swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia. Apabila dokter terbukti melakukan malpraktik secara pidana, dapat dikenakan pasal 359, 360, dan 361 KUHP bila malpraktek itu dilakukan dengan sangat tidak berhati-hati, kesalahan serius, dan sembrono.

Selama ini pembuktian benar atau salahnya suatu kasus dugaan malpraktek secara hukum sulit. Sebab belum ada Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Profesi, sehingga hakim cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional. Sedangkan dokter merasa sebagai seorang profesional yang tidak mau disamakan dengan hukuman bagi pelaku kriminal biasa. Misalnya, pencurian.

Sehingga diperlukan keseriusan pihak pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan untuk segera membuat Peraturan Pemerintah dari UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, terutama PP tentang Standar Profesi. Hal ini mengingat hingga saat ini, dari 29 PP UU No. 23 tahun 1992 yang seharusnya ada, baru 6 (enam) PP yang telah dibuat. Sedangkan UU Praktik Kedokteran yang belum lama ini disahkan cenderung hanya mengakomodir kepentingan dokter, sehingga perlu diadakan judicial review.

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: