Readtimes.id– Tak ada salahnya ketika ingin terlihat baik-baik saja di depan orang banyak, meskipun sebenarnya sedang terjadi pergulatan batin seperti cemas, takut, dan resah terhadap sesuatu. Perilaku tersebut merupakan ciri duck syndrom.
Duck syndrom merupakan sebuah fenomena yang pertama kali ditemukan di Stanford University, Amerika Serikat. Sesuai dengan namanya, fenomena ini menggunakan analogi bebek yang sedang berenang dengan kondisi tampak tenang, namun sebenarnya sedang berusaha mengayuh kakinya dengan cepat agar tetap bisa berada di permukaan air.
Kepada readtimes.id, psikolog Raissa Hadiman M.Psi.,Psikolog, menjelaskan bahwa kondisi ini dianalogikan dengan kondisi orang yang ekspresi dan tingkah laku sehari-hari terlihat tenang, baik-baik saja, dan tidak ada masalah. Tapi sebenarnya sedang berjuang atau memiliki kondisi mental yang bergejolak.
Istilah duck syndrom juga digunakan untuk menggambarkan seseorang dalam kondisi terlihat tenang, meskipun sebenarnya ia mengalami gangguan kecemasan. Walaupun termasuk kategori gangguan kecemasan, fenomena ini tidak diakui secara resmi sebagai penyakit mental.
“Karena fenomena duck syndrom hanya merupakan salah satu gejala dari kondisi mental seseorang. Sedangkan untuk dikatakan sebagai penyakit mental diperlukan beberapa gejala lainnya,” ujar Raissa yang juga COO & CO-Founder Biro Psikologi Personale, Senin (31/1).
Umumnya, duck syndrom dialami oleh mereka yang masih berusia muda, seperti siswa, mahasiswa, ataupun pekerja. Mengapa demikian? Karena salah satu penyebab seseorang mengalami sindrom ini adalah merasakan terlalu banyak tekanan, tuntutan, serta kesulitan mengekspresikan emosi dengan tepat. Dan biasanya orang-orang dalam rentang usia produktif (dewasa muda) sering mengalami hal-hal tersebut.
Kondisi duck syndrom yang seringkali terjadi namun tidak dilakukan penangan, suatu saat dapat menyebabkan penderitanya menjadi susah produktif, karena kelelahan menahan stres dan emosi lainnya saat berusaha sekuat tenaga tidak menunjukkannya ke orang banyak. Dapat pula menurunkan kondisi mental penderita apabila berujung pada gangguan mental yang lebih parah, seperti depresi.
Untuk menghindari risiko yang akan muncul, berikut beberapa cara yang disarankan Raissa:
1. Jujur tentang emosi yang kita rasakan
Terkadang kita merasa tidak enak atau merasa takut membuat orang lain tidak nyaman jika ingin mengekspresikan emosi yang sebenarnya, tapi justru emosi tersebut bisa tertimbun lalu sewaktu-waktu akan “meledak” secara lebih tidak terkontrol. Jadi, carilah orang atau komunitas yang dirasa bisa mendengarkan dan menjadi tempat kita berbagi.
2. Menulis
Jika saat ini kamu merasa mengalami duck syndrom dan merasa belum menemukan orang yang bisa mendengarkan ceritamu dengan nyaman, cobalah untuk menulis jurnal tentang perasaan-perasaan sehari-hari.
3. Ekspresikan emosi
Satu hal yang perlu diingat, setiap orang berhak merasakan emosi apapun. Terkadang kita tidak mau mengekspresikan kesedihan ataupun kekecewaan karena merasa harus terus bahagia. Padahal merasa sedih, kecewa, dan marah juga hak kita, selama itu bisa diekspresikan dengan tepat.
Baca juga : Bahaya Gangguan Mental, Bagaimana Penanganannya?
Editor : Ramdhan Mawadda
1 Komentar