Readtimes.id—Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Tohir akan membubarkan tujuh BUMN tahun ini. Ketujuh perusahaan pelat merah ini rupanya memiliki deretan masalah yang membuatnya tidak mampu lagi berproduksi.
Erick Thohir mengatakan, ketujuh BUMN yang dimaksud sudah tidak beroperasi sejak 2008 lalu sehingga pembubaran menjadi upaya yang yang diambil kementerian.
“Jadi itu dari 2008 mati beroperasi. Nah, kita akan dzolim kalau gak ada kepastian. BUMN yang sekarang pun dengan perubahan ini harus siap bersaing. Apalagi yang udah kalah bersaing,” kata Erick melalui keterangan resmi, Selasa (4/5/2021).
Pengamat BUMN Universitas Indonesia, Toto Pranoto mengatakan, kondisi ketujuh perusahaan pelat merah yang operasional tidak berjalan baik ini harus dilikuidasi.
“Untuk kelompok BUMN yang jasa atau produknya tidak lagi jadi kebutuhan publik atau bisa disubstitusi oleh pelaku yang lain dan kondisi internalnya tidak cukup sehat menurut saya melikuidasi BUMN ini adalah langkah yang tepat,” jelasnya.
Selain itu, Toto juga mengatakan terlalu banyak BUMN yang di Indonesia namun banyak pula yang produktivitasnya kurang baik.
“Dengan proses likuidasi ini diharapkan mungkin BUMN ini kedepannya bisa lebih baik dan daya saingnya bisa lebih kuat dengan peningkatan kualitas dan kontrol dari pemerintah bisa lebih intens,” ungkapnya.
Lalu apa saja masalah yang tengah dihadapi oleh ketujuh BUMN ini?
Pertama, PT Kertas Leces (Persero),
Perusahaan ini masih dalam proses likuidasi sejak dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya pada 28 September 2018. Setelah dinyatakan pailit, perusahaan masih harus menjual aset-asetnya untuk membayarkan kewajibannya ke kreditor.
Dikabarkan nilai kewajiban yang harus dibayarkan ini mencapai dua kali lipat dari aset perusahaan yang ditaksir Rp 1 triliun.
Perusahaan selanjutnya adalah PT Merpati Nusantara Airlines. Sebelum tutup enam tahun lalu, Merpati awalnya cukup sukses melayani penumpang pesawat di Tanah Air sebelum masuknya maskapai bertarif murah alias LCC yang diawali dengan hadirnya Lion Air pada Juni 2000.
Kementerian BUMN mencatat, Merpati hanya menawarkan layanan penumpang, lalu kemudian berkembang di bisnis layanan darat (ground handling) dan pelatihan awak dan pilot. Selain itu, perseroan juga mendirikan Merpati Maintenance Facility (MMF) yang menyediakan perawatan dan perbaikan pesawat yang berbasis di Bandara Internasional Juanda, Surabaya, Jawa Timur.
Setahun setelah tutup, Merpati tercatat memiliki aset mencapai Rp 1,32 triliun, berkurang dari aset 2014 sebesar Rp 2,46 triliun dan pada 2012 sebesar Rp 2,79 triliun.
Sepanjang 2015, perseroan masih membukukan pendapatan Rp 43 miliar, landai 64% dibandingkan 2014 yakni Rp121 miliar dan anjlok hingga 98% dari 2012 yang masih sebesar Rp1,75 triliun.
Merpati mencetak rugi bersih Rp2,48 triliun, membengkak 209% dari tahun sebelumnya Rp803 miliar dan rugi bersih 2012 sebesar Rp 1,54 triliun.
Selanjutnya, PT Industri Gelas (Persero)/Iglas, di Akhir 2018 membukukan pendapatan senilai Rp690 juta dan perusahaan juga mendapatkan pendapatan lain-lain senilai Rp 2,84 miliar. Sayangnya beban usaha perusahaan justru lebih tinggi dibanding dengan pendapatan ini, yakni mencapai Rp6,56 miliar.
Selain itu, terdapat beban lain senilai Rp 57,13 miliar, beban bunga juga tinggi mencapai Rp 48,42 miliar. Kondisi keuangan yang parah ini membuat perusahaan harus mencatatkan kerugian tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada entitas pengendali senilai Rp 84,61 miliar.
Perusahaan keempat adalah PT Kertas Kraft Aceh (Persero) pada November 2018. Perusahaan ini telah berhenti beroperasi karena menghadapi beberapa kendala operasional yang berimbas pada kondisi keuangan. Di tahun tersebut, Kertas Kraft Aceh juga mengajukan permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga Medan.
Sementara pada 2019, sudah ada rencana melakukan merger Kertas Kraf Aceh dan Kertas Leces. Namun, perusahaan ini tak mampu bertahan. Salah satunya masalah yang terjadi yaitu karena mesin produksinya sudah tua.
Perusahaan kelima adalah PT Industri Sandang Nusantara (Persero).
Perusahaan ini bergerak di bidang tekstil dan diketahui masih memproduksi masker di tengah pandemi saat ini. Dikutip dari laman resmi, PTISN memproduksi masker dengan merek Insan Mask.
Porduksi ini tertuang dari surat izin edar yang mereka terima dari Kementerian Kesehatan pada 20 November 2020. Pada 2019, kondisi perusahaan juga disebut mulai membaik. Namun, beberapa upaya restrukturisasi memang dilakukan, salah satunya melepas aset berupa mesin dan persediaan yag tidak digunakan, untuk menambah modal operasional.
Keenam yaitu PT Istaka Karya (Persero)
Istaka yang merupakan BUMN karya juga diketahui masih beroperasi. Sebelumnya, Erick resmi mengangkat Ketua Umum Pusat Pemuda Muhammadiyah Sunanto alias Cak Nanto menjadi Komisaris Utama sekaligus Komisaris Independen PT Istaka Karya (Persero).
Nama Istaka tidak masuk dalam program restrukturisasi 2019. Meski demikian, perusahaan ini tetap jadi salah satu yang terlibat dalam restrukturisasi oleh PPA. Di saat yang bersamaan, sejumlah masalah juga terjadi seperti manajemen yang berbulan-bulan belum terima gaji.
Perusahaan terakhir yaitu PT Pembiayaan Armada Niaga Nasional (Persero) atau PANN. Pada 2 Desember 2019, perusahaan ini menjadi salah satu perbincangan dalam rapat kerja antara Komisi Keuangan DPR dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Erick pun sudah memberi sinyal akan menutup PANN. Ia menyebut PANN beroperasi di luar bisnis utama atau core bisnis perusahaan.Awalnya beroperasi sebagai perusahaan pembiayaan kapal, tapi belakangan malah merambah ke kapal udara atau pesawat.
1 Komentar