
Readtimes.id—Proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung hingga saat ini masih dalam tahap pembangunan nyatanya menyimpan berbagai masalah.
Proyek ini sebenarnya sudah digagas di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Rencana proyek itu pun bergulir hingga era kepemimpinan Jokowi.
Awalnya pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memang melakukan studi kelayakan dengan Japan Internasional Corporation Agency (JICA).
Akhirnya pada 21 Januari 2016 proyek ini dimulai dengan dilakukan groundbreaking oleh Jokowi di Perkebunan Mandalawangi Maswati, Cikalong Wetan, Bandung Barat, Jawa Barat.
Namun sejak dilakukan groundbreaking, pekerjaan proyek masih terkendala pembebasan lahan yang tak kunjung rampung sehingga pendanaan dari China juga tak kunjung terealisasi.
Bahkan hingga saat ini, proyek kereta cepat ini masih dalam tahap pembangunan dan menyimpan berbagai permasalahan di dalamnya. Apa saja dereta masalah proyek ini?
Pertama, pembangunan berjalan lamban dan tidak sesuai target. Pemerintah pada awal pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung menargetkan proyek akan rampung pada 2019.
Namun, hingga saat ini proyek belum juga selesai. Kemudian pemerintah kembali menargetkan proyek ini akan kelar pada 2022 mendatang.
Selanjutnya adalah perhitungan Investasi yang kurang cermat. Perhitungan KAI selaku salah satu anggota konsorsium yang terlibat dalam proyek ini butuh dana Rp114,24 triliun.
Dana itu lebih besar dibandingkan yang tertera dalam proposal dari China saat menawarkan proyek tersebut ke Indonesia. China hanya menawarkan nilai investasi US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280). Kebutuhan dana proyek juga meningkat karena Indonesia belum menyetor modal awal senilai Rp4,3 triliun sampai 1 September lalu. Padahal, setoran itu seharusnya dilakukan sejak Desember 2020.
Jumlah itu belum termasuk estimasi tanggung jawab sponsor dalam membiayai pembengkakan biaya sebesar Rp4,1 triliun. Untuk itu, KAI mengajukan penundaan setoran menjadi Mei 2021. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan dari konsorsium kontraktor High Speed Railway Contractors Consortium (HSRCC), baik terkait penundaan setoran maupun permintaan restrukturisasi kredit proyek.
Masalah selanjutnya adalah proyek ini pernah mengabaikan aspek keselamatan, seperti diungkapkan oleh Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Pasalnya, proyek akan berdiri di lahan labil dan rawan yang rentan longsor, apalagi jika ingin dibangun untuk jembatan dan terowongan bawah tanah.
Selain itu, desain proyek juga belum mengantongi sertifikasi dari Komisi Keamanan Jembatan dan Terowongan Jalan. Masalah lahan sempat dibenarkan oleh Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga belum lama ini. Namun, proyek ini tetap diupayakan berjalan dengan berbagai cara.
Berikutnya adalah APBN yang akhirnya dilibatkan dalam proyek. Awalnya Presiden Jokowi pernah berjanji tak akan menggunakan APBN pada proyek ini. Karena kebijakan itulah, pemerintahannya memilih proposal yang ditawarkan China karena memberikan banyak keunggulan.
Tawaran berbeda dengan Jepang yang meminta ada jaminan pemerintah, dan risiko ditanggung pemerintah. Tapi, janji itu kemudian diralat Jokowi. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 ia justru memutuskan akan memberikan suntikan dana negara ke proyek ini.
“Pendanaan lainnya dapat berupa pembiayaan dari APBN dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dengan memperhatikan kapasitas dan kesinambungan fiskal,” kata Jokowi dalam Pasal 4 ayat 2 Perpres 93/2021.
Selain itu, proyek Kereta cepat ini berpotensi membebani negara. Potensi ini muncul dari hasil kajian konsultan independen.
Selain masalah teknis dan pendanaan, ternyata komunikasi pada proyek ini pun tak lancar. Komunikasi antara Indonesia dan China kurang mulus karena pemimpin proyek, Wika, sejatinya merupakan perusahaan konstruksi, bukan perusahaan di bidang kereta api.
Tumpukan masalah ini kemudian membuat Jokowi mengubah kebijakannya. Ia merombak konsorsium dan membentuk komite percepatan proyek.
Masalah terakhir adalah pembangunan yang dinilai serampangan dan bisa membahayakan keselamatan pengguna jalan. Pada pembangunan pilar LRT yang dikerjakan oleh PT KCIC di KM 3 800 dilakukan tanpa izin dan berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan.
Selain itu, pengelolaan sistem drainase dari pengerjaan proyek tersebut buruk karena tidak dibangun sesuai kapasitas.
Akibat masalah itu, proyek telah menimbulkan genangan air pada tol Jakarta-Cikampek dan kemacetan pada ruas jalan tol.
Karena itulah, Kementerian PUPR melalui Komite Keselamatan Konstruksi sempat menghentikan pelaksanaan proyek yang dikerjakan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) ini.
Pengalihan Tugas Kepemimpinan Komite Kereta Cepat
Selain masalah-masalah di atas, ternyata kepemimpinan kereta cepat yang telah dialihkan dari Airlangga Hartarto ke Luhut Binsar Pandjaitan mengindikasikan suatu masalah.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, menilai sikap Presiden Joko Widodo mengalihkan tugas tersebut menandakan kinerja yang tidak efektif saat komite proyek jumbo itu dipimpin Airlangga sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
“Masalah tidak efektifnya kepemimpinan Pak Airlangga, ada yang tidak beres dalam kepemimpinan beliau sehingga presiden mempercayakan proyek ke Pak Luhut,” jelasnya.
Jokowi menunjuk Luhut sebagai Ketua Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung melalui Peraturan Presiden Nomor 93 tahun 2021 yang terbit pada 6 Oktober 2021. Perpres juga telah mengatur perubahan pendanaan proyek yang mulanya tidak mengandalkan APBN, kini dapat didukung oleh uang negara.
Abra kemudian mempertanyakan evaluasi dari proyek yang digarap BUMN Indonesia dengan Cina tersebut. Menurutnya Tim komite yang dipimpin Airlangga seharusnya dapat menangani berbagai masalah kemudian melaporkannya pada presiden.
“Apa tidak sampai ke Presiden evaluasinya? Mekanisme pengawasan dan evaluasinya dilakukan bagaimana? Pengambilan keputusan-keputusan juga bagaimana?” jelasnya.
Abra kemudian menghawatirkan fokus kerja Luhut akan terganggu. Pasalnya Luhut juga saat ini memimpin komite lainnya, seperti PPKM Jawa-Bali, Ketua Dewan Pengarah Danau Prioritas, hingga Ketua Tim Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia.
Selain itu, keputusan penggantian kepemimpinan ini pun menuai kritik masyarakat karena banyaknya tugas yang diberikan Jokowi kepada Luhut.
“Kenapa harus Pak Luhut lagi, masyarakat bertanya-tanya ada apa sebenarnya mengapa pak luhut memangku begitu banyak tanggung jawab?” tutup Abra.