‘Buruk Rupa, cermin dibelah’. Mungkin, itu analogi yang pas untuk menggambarkan semangat sejumlah Partai Politik, Anggota DPR, Akademisi, maupun sejumlah kelompok yang kini ingin mengembalikan sistem pemilu kita kembali menuju sistem proporsional tertutup ala Orde Baru.
Ketika rakyat, sebagai pemilik daulat hanya akan disodorkan tanda gambar partai tanpa pernah mengenali dengan baik, siapa orang di balik tanda gambar partai yang akan mereka pilih, apa kontribusi para calon anggota legislatif selama ini bagi rakyat dan bagaimana kiprah dan gagasan mereka yang akan dipilih menjadi wakil rakyat.
Pengulangan argumentasi lama, seperti apa yang disampaikan oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bahwa ‘demokrasi liberal telah membuat banyak kader potensial partai yang kurang popular, dan memiliki pemahaman akan garis ideologi partai, kalah bersaing dengan mereka yang punya popularitas’.
Begitu pula daur ulang pendapat akademisi yang dengan sedikit serampangan menyampaikan argumen bahwa sistem proporsional terbuka justru menyuburkan praktik korupsi, menghambat pelembagaan partai, sampai pada kontrol bagi setiap anggota legislatif yang semakin berkurang ketika mereka duduk karena tidak terikat dalam satu garis kebijakan parpol, juga menurut hemat kami adalah dalil dan dalih yang lemah.
Pertama, logika bahwa ‘kader-kader ideologis’ partai kalah bersaing dengan mereka yang memiliki popularitas dan kapasitas finansial, layaknya yang disampaikan oleh Sekjen PDIP dan beredar luas di media massa, justru membuka borok kepartain kita selama ini.
Artinya, selama ini mereka yang duduk menjadi calon legislatif bahkan menduduki kursi legislatif banyak bukan kader ideologis partai karena yang duduk adalah kalangan populis dan pragmatis?
Bukankah, pintu masuk dari kehadiran para calon anggota legislative sampai menjadi anggota legislatif berasal dari proses rekrutmen dan pencalonan partai yang sudah hampir pasti mengikuti segala prasyarat pencalonan sebagai calon anggota legislatif? Seperti, mengikuti kaderisasi parpol yang dilaksanakan secara internal parpol untuk menanamkan proses ideologisasi partai itu sendiri.
Begitu pula soal persaingan popularitas dan kapasitas finansial setiap calon anggota legislatif, jika fungsi kaderisasi, rekruitmen politik sampai pada aspek sirkulasi elit, sesuai dengan fungsi ideal parpol berjalan dengan baik, serta partai politik benar-benar mendorong setiap kadernya untuk berkontribusi politik yang nyata di tengah masyarakat, maka tidak ada logika yang membenarkan bahwa caleg tersebut akan kalah popular.
Bagi kami, peryataan sekjen PDIP yang beredar luas di media tersebut cacat secara logika. Justru, menunjukkan bahwa kapasitas elit partai sendiri memang tidaklah cukup untuk menampung logika praktik demokrasi langsung yang selama ini berjalan. Karena, sangat aneh jika ‘parpol sebagai pintu masuk satu-satunya bagi calon legislatif’ layaknya yang kini kita jalankan selama ini, justru berteriak tidak memiliki peran signifikan.
Saya curiga, apa yang disampaikan oleh Hasto dan sejumlah elit partai yang mendukung kembalinya sistem proporsional tertutup ala Orde Baru, lebih berorientasi pada kehendak elit partai itu sendiri. Untuk memapankan kuasa mereka atas kelembagaan partai politik yang bukan tidak mungkin akan berakhir pada familikrasi, privatisasi, oligarki elit oleh rezim ‘ketua umum’ baik di pusat maupun di daerah bagi partai politik kita.
Kedua, pernyataan yang menyampaikan bahwa sistem pemilu dengan model proporsional terbuka adalah lahan subur bagi praktik korupsi, melemahkan pelembagaan parpol dan menghilangkan peran partai politik bagi setiap anggota legislatif, sebenarnya adalah dalih dari argumentasi yang sangat lemah.
Karena jika latar argumentasi tersebut berangkat dari fakta, bahwa setiap calon legislatif harus mengeluarkan biaya politik untuk mendongkrak popularitas mereka. Maka, apakah ada jaminan bahwa mereka yang ingin duduk di kursi legislatif dengan mekanisme proporsional tertutup bebas dari setoran kepada elit partai yang punya kuasa begitu besar ?
Bisakah ada jaminan, setiap calon legislatif yang dipilih oleh ‘rezim ketua umum partai’ bebas dari semangat oligarki, familikrasi dan koncoisme? Sedangkan saat ini, dengan sistem proporsional terbuka saja, praktik tirani dari pusat sampai daerah untuk pencalonan anggota legislatif sampai kepala daerah senantiasa berlatar praktik oligarki para elit parpol.
Begitu pula, persoalan pelembagaan parpol dan kontrol bagi anggota legislatif juga sebenarnya lebih merupakan ketidakmampuan partai utamanya elit prapol itu sendiri dalam menjalankan pelembagaan dalam tubuh partai, seperti persiapan kaderisasi parpol yang panjang sebagai syarat pencalonan agar setiap caleg benar-benar siap secara kapasitas dan popularitas.
Sedangkan mekanisme kontrol bagi anggota legislatif terpilih, juga secara detail telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dimana, mereka yang dipandang melanggar kebijakan partai bisa saja dilakukan pergantian lewat mekanisme “Pergantian Antar Waktu (PAW) yang senantiasa menjadi momok bagi setiap anggota legislatif dari daerah sampai pusat.
Lantas, apa argumentasi yang kuat untuk kita kembali ke desain sistem pemilu ala Orde Baru tersebut? Jangan sampai, penguasa negara ini sudah benar-benar berwatak dan bertindak ala rezim Orba ?
35 Komentar