Readtimes.id– Film Freedom Writers membuka cerita tepat pada tahun 1992 di Los Angles, Amerika serikat. Ketika kerusuhan massal akibat konflik rasial harus mencatat 3.500 kasus penembakan bebas serta timbulnya 120 lebih pembunuhan dalam sebulan.
Atas kejadian tersebut, ketegangan antar ras meningkat tajam dan tak mampu dihindari. Benih dendam tumbuh begitu subur yang memunculka bunga-bunga kecurigaan. Akibatnya, rasa dendam dan curiga tertanam dalam diri masing-masing kelompok ras di Amerika.
Hal ini bahkan harus terbawa ke lingkup sekolah. Para siswa terkotak-kotakkan sesuai ras mereka. Tidak jarang dari mereka harus terlibat kekerasan dan perkelahian hingga harus keluar masuk penjara dan berakhir putus sekolah.
Potret di atas adalah apa yang terjadi di Woodrow Wilson High School, khusunsnya kelas 203. Ruangan ini dihuni remaja yang tumbuh di lingkungan penuh ketegangan akibat konflik ras. Mereka tumbuh dengan rasa dendam dan kecurigaan satu sama lain.
Hingga suatu hari seorang guru bernama Erin Gruwell (Hilary Swank) memberi pandangan baru kepada penghuni kelas 203. Gruwell digambarkan sebagai perempuan dengan idealisme tinggi serta fokus terhadap isu pendidikan.
Tidak mudah bagi Erin untuk memetik usahanya, terlebih kotak-kotak antargeng nyatanya telah mengakar pada murid-muridnya. Rasisme di lingkup sekolah jelas dirasakan Erin. Ia membaca itu dari murid-muridnya sendiri. Sebuah ledekan untuk ras kulit hitam dari ras kulit putih atau ras kulit putih sangat superior bagi ras kulit hitam dan begitu seterusnya.
Dari situ Erin bertekad untuk mengubah semuanya. Ia ingin murid-muridnya sadar bahwa kebencian hanya memperburuk segalanya dan pendidikan adalah salah satu jalan bagi mereka memperoleh kehidupan lebih baik.
Tekad itu Erin tuangkan dalam sebuah metode pembelajaran yang cukup unik. Ia membagi buku catatan kosong kepada murid-muridnya. Mereka bebas menuliskan apa saja, entah keinginan, kejadian yang dialami atau kebencian yang dirasakan, segalanya. Buku itu tidak akan Erin baca keculai izin dari mereka.
Tidak hanya itu, Erin mengajak siswanya mengunjungi museum Holocaust (korban kekejaman pemerintahan NAZI) di Simon Wiesenthal, Washington DC. Masing-masing mereka begitu larut menyaksikan tayangan dari layar museum. Seusai kunjungan, mereka kemudian diajak menemui langsung korban holocaust.
Metode tersebut ternyata berhasil. Cara pandang mereka akan kehidupan yang yang dijalani selama ini berubah. Dendam dan curiga yang menciptakan jarak berubah penerimaan yang menyatukan.
Perjuangan Erin berhasil. Namun, dalam hidup ada yang datang dan pergi. Erin mendapatkan apa yang ia mau damun harus menerima kepergian pasangannya. Mereka harus berpisah.
Meski begitu, Erin kemudian mendirikan Yayasan Penulis Kebebasan (Freedom Writers Foundation). Melalui yayasan ini, Erin mengajar pendidik di seluruh dunia tentang penerapan Metodologi Penulisan Kebebasan, sebuah filosofi pengajaran progresif dengan kurikulum yang dirancang untuk mencapai keunggulan dari semua siswa.
Selamat menyaksikan!
Tambahkan Komentar