
Readtimes.id– Pemberitaan tentang pelecehan seksual kian hari kian mencuat ke publik dan semakin membentangkan bendera merah bahwa persoalan asusila tersebut amat penting ditindaki.
Belakangan, kabar tentang pelecehan terhadap anak lagi-lagi mengegerkan khalayak umum. Herry Wirawan, salah seorang guru sekaligus petinggi pesantren di Bandung menjadi tersangka atas pelecehan seksual terhadap 12 santri perempuan di pesantrennya.
Persoalan di atas memicu munculnya bermacam-macam narasi tentang penyebab pelecehan seksual yang menerpa para anak utamanya di bangku sekolah. Selain menyoroti tindakan asusila para pelaku, pendidikan seksual juga jadi hal penting untuk didiskusikan.
Jika ditelusuri ke belakang, penerapan pendidikan seksual di sekolah pada awalnya sudah menjadi pro kontra yang tak kunjung menemui titik temu. Dikutip dari Anatara, pada 2010 ada imbauan pendidikan seksual untuk dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan mendapat penolakan dari Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh.
Ia beralasan, setiap masyarakat secara alami akan memiliki pengetahuan tentangnya tanpa harus diajari. Sehingga pendidikan seks di sekolah tidak perlu dihadirkan.
Seiring waktu bergulir, tepatnya di tahun 2016 pendidikan seksualitas akhirnya masuk dalam kurikulum 2013 (K-13), dengan mata pelajaran “Kesehatan Reproduksi”. Namun berdasarkan pengamatan Seperlima (kelompok masyarakat yang mengadvokasi penyediaan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas di sekolah dasar dan menengah), setelah penerapan terkait pendidikan seksualitas di sekolah dirasa belum memadai. Hal ini berdasar dari meningkatnya kasus kekerasan seksual yang menyasar para anak di bangku sekolah hingga hari ini.
Pembahasan tentang pendidikan seksual juga sering kali berujung pada salah kaprah tentang kata “seks” di mana mengarah pada sebuah tindakan atau perilaku. Topik ini masih dianggap kaku baik di keluarga maupun di lingkungan pertemanan. Apalagi jika di bawa pada lingkup yang lebih luas, yakni sekolah. Anggapan awam tentang topik seksualitas selalu berujung pada pemikiran negatif tentangnya.
Kondisi tersebut malah menciptakan sebuah kecenderungan pada anak untuk enggan dan merasa malu untuk berdiskusi tentang topik seksualitas ini. Survei edukasi seksual yang dilakukan Magdalene menemukan, 16,9 persen dari 320 remaja 15-¥19 tahun di Indonesia yang mengonsumsi pornografi mengaksesnya untuk belajar tentang seks.
Jika demikian, hal ini hanya akan menimbulkan persoalan baru di kalangan remaja. Kecenderungan remaja mengakses konten pornografi akan menyalahi aturan yang tertuang dalan Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi sebab menyaksikan tayangan yang tergolong pornografi dianggap melalukan perbuatan asusila.
Bisa Diterapkan Sejak Dini
Psikolog Analisa Widyaningrum di kanal Youtubenya mengatakan, pendidikan seksual sangat penting untuk dilakukan bahkan harusnya diterapkan sejak dini. Hal itu dimaksudkan agar anak bisa mengerti dan paham akan tubuh mereka serta hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadapnya.
Analisa Personality Development Center (APDC) kemudian menguraikan pendidikan seksual yang mestinya diberikan kepada anak berdasarkan usia. Cara ini bisa Anda terapkan untuk si buah hati.
- Usia di bawah 5 tahun
Pada usia ini, penting untuk memberikan edukasi anatomi tubuh. Biasanya anak 3-4 tahun akan bertanya, kok bisa adek bayi keluar dari perut mama? Sampaikan dengan simple. Cerita saja bahwa selama sembilam bulan ada adek bayi di perut mama dan akan keluar menjadi bayi.
Ketika berusia 5-6 tahun, anak lebih kritis dan bisa dijelaskan konsep perempuan dan laki-laki. Anggota tubuh mana yang berbeda diantara perempuan dan laki-laki.
Ajak anak mengenali anggota tubuh dan bagaimana merawatnya. Ajarkan tentang batasan bagian tubuh yang boleh disentuh dan tidak. Gunakan lagu atau gambar menarik. Bagian leher ke bawah, mana yang boleh disentuh dan tidak boleh terutama dengan lawan jenis. Beri pemahaman tentang siapa saja orang terdekat yang boleh menyentuhnya.
Selain iti, ciptakan kualitas komunikasi yang nyaman agar anak percaya bahwa kedua orangtua yang paling bisa melindunginya jika ada sesuatu yang tak nyaman terjadi. Dorong mereka berani “speak up” jika ada orang lain yang memaksa atau membuatnya tak nyaman disentuh.
- Usia 6-12 tahun
Pada usia ini penting memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi. Usia 6-7 tahun anak diberi pemahaman tentang perbedaan antara anak laki dan perempuan (gender). Sampaikan tentang apa itu aurat dan bagaimana ia harus menjaganya.
Pada usia 8-10 tahun biasanya anak mulai mengalami dorongan ketertarikan dengan lawan jenis. Sampaikan pada anak bahwa orangtua pihak yang paling tepat dan memahami tentang perubahan apapun yang anak alami.
Sedangkan usia 10-12 tahun sebagian anak laki-laki sudah mulai mimpi basah dan perempuan mengalami menstruasi. Orangtua bisa memberi pemahaman tentang apa itu pubertas, ajarkan tentang sistem reproduksi, dan ajak anak menjaganya.
- Usia 13-21 tahun
Pada usia remaja menjelang dewasa ini penting untuk mengedukasi reproduksi dan self esteem. Pada tahap usia anak 12-13 tahun, orangtua bisa mengajarkan tentang bahayanya jika anak tidak menjaga kesehatan reproduksi mereka.
Ceritakan pada anak bagaimana proses kehamilan bisa terjadi, dan ajak mereka terbuka tentang dorongan yang muncul terkait dengan lawan jenis.
Pada anak usia 13-17 tahun jelaskan tentang konsep pacaran itu apa, dan bagaimana mereka bisa menjaga diri mereka agar memiliki hubungan yang aman dengan lawan jenis.
Saat anak berusia 17-21 tahun, beri gambaran tentang tumbuhnya self esteem pada diri mereka. Sampaikan bahwa diri mereka begitu berharga sehingga harus dijaga.
Beri kenyamanan pada mereka saat bercerita agar terbuka apapun yang terjadi pada diri mereka.
Editor: Ramdha Mawaddha
Baca juga: Film Trust: Perjuangan Annie, Korban Kekerasan Seksual