RT - readtimes.id

Menuju Pemilu 2024 yang Substansial

Demokrasi menjadi penting untuk memperlihatkan proses yang baik guna mencapai tujuan idealnya, melalui mekanisme yang memungkinkan setiap warga dapat mengekspresikan hak politiknya guna memperoleh pemimpin yang handal dan oleh Habermas dianggap harus memenuhi kualifikasi quantity of participation dan quality of discourse (1973).

Demokrasi setidaknya menunjuk pada paling tidak empat pengertian penting yaitu; pertama, derajat kekuasaan dan pengaruh terhadap pembuatan keputusan penting bagi masyarakat disebarkan di seluruh masyarakat tersebut (Sidney Verba dalam Greenstein & Polsby, 1975:306). Kedua, demokrasi merupakan seperangkat lembaga-lembaga formal seperti pemilu yang bebas dan umum, serta pengambilan suara mayoritas di parlemen (Felix E, Oppenheim dalam Greenstein & Polsby, 1975:306). Ketiga, demokrasi selalu bermakna suatu bentuk partisipasi dalam kehidupan politik pada suatu masyarakat (Orlando Patterson dalam Warren, 1999:156), dan demokrasi diartikan secara sederhana sebagai bentuk pemerintahan (Huntington, 1993:5).

Dalam pemaknaan terakhir, sebagai bentuk pemerintahan, demokrasi bukanlah sistem pemerintahan yang dilakukan oleh yang terbaik dan terbijak tetapi sebagai bentuk pemerintahan yang paling bijak dan paling baik diantara bentuk pemerintahan yang pernah diterapkan (Lipson, 1964, Riker 1982). Keunikan demokrasi adalah berpadunya antara tujuan dan cara, bahwa bukan hanya tujuan yang mesti baik, tetapi juga cara untuk mencapainya. Maknanya bahwa demokrasi menjadi penting untuk memperlihatkan proses yang baik guna mencapai tujuan idealnya, melalui mekanisme yang memungkinkan setiap warga dapat mengekspresikan hak politiknya guna memperoleh pemimpin yang handal dan oleh Habermas dianggap harus memenuhi kualifikasi quantity of participation dan quality of discourse (1973).

Pemilu adalah cara untuk mewujudkan demokrasi tapi bukan demokrasi itu sendiri. Demokrasi tidak berhenti pada proses elektoral, melainkan juga berlanjut pada pasca elektoral. Demokrasi terkait dengan relasi antara eksekutif dan legislatif (dua lembaga hasil pemilu), dan relasi antara dua lembaga itu dengan publik/konstituen. Pengalaman praktik demokrasi di banyak negara, tidak lepas dari paradok-paradok. Sistem pemilu yang baik tidak berhenti pada bagaimana prosesnya berlangsung secara baik/demokratis atau tidak, melainkan pada implikasi yang dilahirkannya pasca elektoral. Desain pemilu terkait dengan pelembagaan demokrasi.

Realitanya pilihan desain pemilu pada dasarnya lebih merupakan sebuah proses politik, bukan suatu persoalan di mana para ahli teknis independen bisa memberikan satu “jawaban tepat”. Sesungguhnya, pertimbangan keunggulan politis hampir selalu merupakan faktor dalam pilihan sistem pemilu – kadang-kadang bahkan itulah satu-satunya pertimbangan. Kepentingan politis jangka pendek juga sering dapat mengaburkan konsekuensi-konsekuensi jangka panjang sistem pemilu tertentu dan kepentingan sistem politik yang lebih luas.

Mari kita tarik kebelakang diskursus yang terbangun dalam pilihan sistem pemilu pada pembahasan UU Pemilu di DPR beberapa waktu lalu. DPR hanya berkutat soal pilihan sistem terbuka atau tertutup. Karena perdebatan terfokus pada terbuka atau tertutup, sejumlah unsur sistem pemilu lainnya tidak mendapat perhatian yang mendalam. Hal ini memberikan gambaran bahwa DPR yang memiliki kewenangan untuk menentukan desain pemilu terjebak pada langgam proseduralis berdasar untung dan rugi, bukan pada ranah substansial untuk menciptakan pemilu sebagai instrumen merangkul seluruh elemen masyarakat.

Bukti dari realitas tersebut salah satunya dapat kita lihat dalam pembentukan daerah pemilihan (dapil). Pembentukan daerah pemilihan tidak terlepas dari pengaruh kepentingan politis beberapa oknum elite yang bertujuan melanggengkan kekuasaan dan mengamankan konstituen.

Dari pelaksanaan empat kali pemilu demokratis, isu pembentukan daerah pemilihan kurang mendapatkan perhatian dan pendalaman, baik oleh pembuat undang-undang maupun penyelenggara pemilu, utamanya soal unsur kohesivitas dalam pendapilan. Padahal, unsur kohesivitas ini merupakan kunci untuk menciptakan desain pemilu sebagai instrumen manajemen konflik secara sosio-antropologis.

Mengutip pernyataan Prof. Ramlan Surbakti bahwa kesalahan dalam pembentukan dapil merupakan sebuah bentuk penyimpangan pemilu yang dikategorikan sebagai manipulasi terhadap kerangka hukum pemilu (manipulation of legal framework). Penyimpangan ini menjadi biasa dilakukan sebelum pemilu diselenggarakan (pre-election manipulation). Kesalahan dalam pembentukan daerah pemilihan juga akan melanggar prinsip Parameter Pemilu Demokratik yaitu prinsip kesetaraan antar warga negara.

Desain Pemilu yang baik, adalah desain yang dibangun berdasarkan kondisi empiris masyarakat. Para penyelenggara pemilu juga perlu melakukan pendekatan sosio-antropologis terhadap dinamika sosial-budaya masyarakatnya.Persyaratan bagi desain pemilu yang inklusif adalah; Pertama, sistem pemilu itu sederhana untuk dipahami oleh segala unsur pemilih dan sederhana untuk dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu serta peserta pemilu di tingkat operasional. Hal ini pula akan meningkatkan dukungan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pemilu serta meningkatkan penerimaan publik terhadap hasil pemilu. Maka dari itu, pemilu esensinya dapat menjadi instrumen manajemen konflik dan mempersatukan masyarakat yang terbagi-bagi menjadi ragam adat-istiadat.

Namun, jika desain pemilu melulu didasarkan kepada kepentingan politis semata, maka tak heran pemilu hanya dinikmati oleh segelintir kelompok elite yang berkuasa. Pemilu sebagai instrumen demokrasi gagal untuk merangkul seluruh lapisan elemen masyarakat. Bahkan, dampak yang lebih parah adalah penyelenggaraan pemilu dapat menjadi benalu penyulut konflik horizontal dalam masyarakat yang homogen.

1 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: