Readtimes.id– Aset mata uang digital kripto kini resmi menjadi jenis objek pajak yang baru. Aturan ini Mulai berlaku pada 1 Mei 2022. Pemerintah menyatakan aset kripto merupakan sebuah komoditas, sehingga memenuhi kriteria sebagai objek pajak pertambahan nilai (PPN) dan dan Pajak Penghasilan (PPh).
Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas perlakuan PPN dan PPh atas transaksi kripto yang berkembang di masyarakat.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor mengatakan yang harus diluruskan bahwa aset kripto di Indonesia ini tidak dianggap sebagai alat tukar maupun surat berharga, melainkan sebuah komoditas. Bank Indonesia juga menyatakan bahwa aset kripto bukanlah alat tukar yang sah.
“Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Kementerian Perdagangan menegaskan bahwa aset kripto merupakan komoditas. Karena komoditas, maka merupakan barang kena pajak tidak berwujud dan harus dikenai PPN juga agar adil,” kata Neilmaldrin.
Terkait penerapan pajak tersebut, Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengapresiasi aturan PPN dan PPh atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Penerbitan ini menunjukkan bahwa pemerintah mengakui perdagangan aset kripto sebagai alat komoditas yang akan diluncurkan oleh Bappebti.
“Ini saya yakin merupakan tonggak awal Bappebti dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan saling mendukung dan mengawasi,” jelasnya.
Ibrahim juga mengapresiasi kementerian keuangan yang sudah menjembatani kekisruhan perbedaan tafsir antara pandangan Bappebti mengenai Kripto sebagai komoditas dan pandangan OJK terkait kripto sebagai alat pembayaran.
Selain itu, dengan keluarnya peraturan tersebut Ibrahim berharap para pelaku bisnis seperti Indodax, Toko Kripto dan lain-lain yang saat ini berstatus calon pedagang yang terdaftar di Bappebti bisa menerima regulasi tersebut meskipun calon pedagang tidak dilibatkan dalam pembuatan regulasi dan penentuan PPN dan PPh tersebut, karena dengan disahkan peraturan ini transaksi menjadi lebih aman.
“Dengan adanya aturan ini tidak serta merta masyarakat atau investor akan meninggalkan Aset Kripto karena takut kena pajak, tetapi ini akan menambah kepercayaan tersendiri bagi masyarakat (investor) yang saat ini sedang ramai-ramainya berinvestasi. Dan yang terpenting transaksi benar-benar dikuasai oleh pemerintah,” jelasnya.
Penerapan Aturan
Ibrahim juga berharap pemerintah nantinya mengupayakan penerapan aturan yang mudah dan sederhana dan cara pengenaan pajak pada perdagangan aset kripto.
Pemerintah sendiri melalui Direktorat Jenderal Pajak Indonesia (DJP) menyatakan pengenaan pajak pada perdagangan aset kripto akan dibuat secara sederhana yaitu dengan melakukan penunjukkan pihak ketiga sebagai pemungut PPN perdagangan aset kripto. Pihak ketiga tersebut yaitu penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) baik dalam negeri maupun luar negeri.
Perdagangan atas aset kripto kemudian dipungut PPN besaran tertentu atau PPN Final dengan tarif 0,11% dari nilai transaksi dalam hal penyelenggara perdagangan adalah Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) dan 0,22% dalam hal bukan oleh PFAK. Sedangkan untuk jasa mining (verifikasi transaksi aset) dengan tarif 1,1% dari nilai konversi aset kripto.
Selain itu, dari perdagangan yang dilakukan juga memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi penjual sehingga merupakan objek pajak dan dipungut PPh pasal 22 final 0,1% dari nilai aset kripto (jika merupakan PFAK); atau 0,2% dari nilai aset kripto (jika bukan PFAK). Hal ini berlaku juga atas penghasilan yang diterima oleh penambang aset kripto (miner), merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang dikenai PPh pasal 22 dengan tarif sebesar 0,1% dari penghasilan yang diterima atau diperoleh, tidak termasuk PPN.
Tambahkan Komentar